Selasa, 01 September 2009

The Sandro Rayhansyah Review : Michael Jackson - Thriller

Artist : Michael Jackson
Album : Thriller
Year : 1982
Score : 10 of 10




Terlepas dari momen akan segala euforia tentang kehilangan salah satu penyanyi, salah satu pop-star, terbaik dan terbesar yang pernah ada di muka bumi, bagi saya, Michael Jackson adalah pahlawan masa kecil abadi yang tak tergantikan setelah John Lennon, Kurt Cobain, dan Kotaro Minami. Selain menjadi tokoh protagonis dalam game favorit saya di konsol sega genesis, Michael Jackson adalah tokoh antagonis yang selalu hadir dalam mimpi buruk saya kala mengingat video klip "Thriller" yang tergolong sangat horror untuk ukuran saya dulu yang berumur 6/7 tahun.

Sebelumnya di Thriller, di Off The Wall Michael Jackson telah men-set suatu standar baru akan pop, disco, dan dansa yang paling dipakai di sepanjang dekade 80an. Suatu pertanda yang nyata akan sosok Michael Jackson sebagai calon kuat penguasa pop 80an paling menjanjikan dengan segala bakat audio-visual yang dia miliki.

Thriller adalah suatu dokumentasi signifikan ketika dance-pop ala Michael Jackson berada pada puncaknya. Michael Jackson masih mempertahankan fondasi pop lintas genre peninggalan Off The Wall, lalu memperkaya dengan mamadukan elemen-elemen variatif lewat smooth-pop, pop-ballad, funk, soul, hingga hard-rock sekalipun. Ada "Billie Jean" yang R&B-ish dengan nyawa soul yang akut, ballada manis pada "Human Nature", hingga "Wanna Be Starting' Something" dan "thriller" yang merupakan nomor-nomor signature R&B khas ala Michael Jakcson yang akan membuat siapapun yang mendengar untuk berdansa ria.

Michael Jackson (lagi-lagi) menggaet living legend Sir Paul McCartney untuk kembali beradu vokal sekaligus berebut pasangan dalam nuansa sweet-pop pada "The Girl is Mine". Kemudian menggaet maestro gitar, Eddie Van Halen, untuk berkonspirasi menghasilkan lagu disco-beat paling hard-rock dalam sejarah musik populer dunia dalam "Beat-It".

Melalui Off The Wall, Michael Jackson memproklamirkan dirinya sebagai pionir pop yang juga kuat secara audiotory, membuktikan bahwa album studio Michael Jackson bukanlah rekaman yang bersifat komplemen dari sosok dia sebagai penyanyi panggung. Dan melalui Thriller anda akan menyadari betapa jenius-nya seorang Michael Jackson, melebihi segala karisma visual seorang entertainer sejati yang dia punya. Kita tak melihat Michael Jackson bergerak, bernyanyi, dan berdansa, hanya indera pendengar kita yang merangsang semua komposisi menawan dari keseluruhan album Thriller. Tujuh puluh lima juta lebih umat manusia diseluruh dunia adalah alasan bahwa album ini benar mempunyai tingkat presisi yang tinggi dalam menyuguhkan sensasi musikalitas khas Michael Jackson via piranti rekaman.

Adalah hal yang sangat wajar, di umur rilis yang mencapai 25 tahun lebih, Thriller masih terdengar 'menegangkan'. Siapa sangka?. Dan berkat album inilah, saya berani berkata bahwa Michael Jackson berada di tingkat yang setara dengan Elvis Presley ataupun James Brown, dan bahkan melampaui mereka.

Jumat, 28 Agustus 2009

The Sandro Rayhansyah Review : Jet - Shaka Rock

Artist : Jet
Album : Shaka Rock
Year : 2009
Score : 5,5 of 10


Sahabat lama kita, rock 'n' rollers asal Australia, Jet, kembali membuka garasi untuk di studio album mereka yang ketiga. Shaka Rock bisa disinonimkan dengan garage rock ala mereka yang sebenarnya tidak terlalu kelihatan diferensiasinya dengan teman-teman mereka yang berada di genre yang sejenis. Riff yang mengadaptasi garis rock garasi yang berkiblat pada Rolling Stones era 70an dan mengemulsi raungan gitar hard-rock ala AC/DC, namun dengan pendekatan pop ala Oasis yang penuh hook-hook singalong dimana-mana.

Setelah Get Born, Shine On, dan sekarang di Shaka Rock, mereka pun tak kemana-mana, Jet tetap disana. Entah enggan untuk mencari sesuatu baru yang signifikan atau apa, Shaka Rock masih seperti pembuktian akan sesuatu yang tak berbeda sama sekali. Oke kita mendengar bebunyian piano yang tidak sekedar imbuhan kord pemanis seperti di "La Di Da" ataupun di "Seventeen" yang berhasil menjadikan instrumen piano sebagai tekstur lagu yang tidak hanya bersifat supplementatif ataupun sebagai seri kelanjutan dari ballada "Look What've You Done" dan "Shine On" di album-album Jet sebelumnya. Namun "Goodybye Hollywood", "Let Me Out", hingga "She Holds A Grudge" adalah formula rock -anak mama generik- tanpa harapan yang (lagi-lagi) berharap bisa mencapai keagungan ballad berkelas seperti karya "Radio Song"- mereka di Get Born.

Beruntung mereka masih bisa menggigit di nomor hard-rock groovy ala AC/DC peninggalan "Put Your Money Where Your Mouth Is" di "Shes Genius" yang seharusnya akan membuat mereka masih dalam kasta yang sama dengan Kasabian ataupun Kaiser Chief. Coba simak juga pop-rock manis "La Di Da" yang terdengar seperti Rolling Stones era Brian Jones yang merilis Aftermath ditahun 2006, bukan 1966.

Jet bukanlah tipikal band rock yang terlalu peka dengan lingkungan sosial. Mereka lebih memilih berbicara tentang wanita, patah hati, dan prostitusi daripada berbicara tentang wacana protes, anti-war, ataupun hal-hal lain yang kerap dibicarakan dalam konteks rock. "K.I.A (Killed in Action)" merupakan sebuah lelucon besar di departemen lirik Jet. Terdengar lebih cocok menjadi soundtrack film komedi dari pada film action ataupun perang.

Shaka Rock nyaris menjadi karya paling ironis dalam sepanjang sejarah karir bermusik Jet. Jika di album berikut Jet masih lantang memainkan rock-rock klishe sefasih di Shaka Rock kali ini, saya pastikan album tersebut adalah album bunuh diri. Produk lokal kita seperti The Brandals ataupun The S.I.G.I.T, saya rasa punya kualitas yang berada jauh di atas Jet. Entah apa yang terjadi pada rocker-rocker asal Australia, setelah The Vines bunuh diri di album Melodia, Jet pun juga menyusul melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Mungkinkah ini pertanda kemunduran rock australia? harapan saya hanya tersisa di Wolfmother.

Sabtu, 22 Agustus 2009

The Sandro Rayhansyah Review : The S.I.G.I.T - Hertz Dyslexia


Artist : The S.I.G.I.T
Album : Hertz Dyslexia
Year : 2009
Score : 8 of 10



The S.I.G.I.T punya segalanya. Mereka adalah bentuk paling realistis dari sebuah image band rock yang benar-benar keren. Quartet asal Bandung ini bukanlah band rock 'n' roll murahan yang biasa terjebak dalam pola lagu 3 kord yang itu ke itu saja. Melalui Hertz Dyslexia, The S.I.G.I.T membuktikan bahwa mereka adalah band yang tidak takut untuk melawan apapun dan siapapun, entah itu arus industri, trend, bahkan fans mereka sendiri. Armada rock terbaik Indonesia saat ini terlihat sangat percaya diri dan tidak ragu-ragu memberi sedikit 'shock terapi' kepada semua Insurgent Army, melalui 7 amunisi killer songs di mini album bertajuk "Hertz Dyslexia" ini.

"Hertz Dyslexia" bisa dibilang adalah jembatan menuju perpisahan dari musikalitas garage-rock ala The S.I.G.I.T yang sing-along penuh hook di "Visible Idea of Perfection" menuju ke suatu bentuk rumusan garage rock yang lebih kompleks dengan pola musikalitas yang sedikit berada di luar jalur. Mereka mengutak-atik efek, suling, hingga dawai biola, untuk mencuri pengaruh rock experimental ala flower generation tahun 67an yang diprakarsai oleh The Beatles, The Doors, hingga Velvet Underground.

Alhasil, ramuan "Hertz Dyslexia" adalah suatu formula garasi rock yang raw namun detail secara sound, dan penuh ruang eksperimen tanpa batas. Mereka bermain-main bereskperimen disini dan disana, mengambil jalur yang tak mudah ditebak, dan bersenang-senang ketika penggemar lama mulai mengerutkan dahi ketika mendengar "Midnight Mosque Song" yang beratmosfer psikedelik hingga shoegaze, "Money Making" yang interlude-oriented dengan riff gitar turunan "Communication Breakdown" ala Led Zeppelin, hingga "The Party" yang sangat kick'ass-hard rock. Coba simak juga "Only Love Can Break Your Heart" yang akan mengisi sekaligus memperkaya repertoir mereka yang kekurangan stok lagu ballad romantis.

Mengutip kalimat Rekti sewaktu konser launching EP ini 20 Juni lalu, "Selamat datang di Dyslexia, ketika uang dan politik tiada artinya". The S.I.G.I.T membuat wacana politik dan uang di "Hertz Dyslexia" semakin terdengar kontekstual dengan segala kenyataan akan keadaan kondisi sosial-politik Indonesia versi terkini. Simak Rekti berteriak tentang doktrin menyembah uang di "Money Making", setan kapitalis di "Bhang", hingga mengacungkan jari tengah pada setiap partai politik yang ada di "The Party".

The S.I.G.I.T tidak hanya berani melawan arus, tapi mereka juga membuat orang terpengaruh untuk mengikuti arus mereka. Dan "Hertz Dyslexia" adalah sebuah attitude, pembuktian, dan langkah berani tanpa peduli setan akan apapun, sebuah deklarasi totalitas akan karya atas nama idealisme. Apalagi album ini dipackage dengan bonus DVD Live Sold Out mereka pada tahun 2006 kemarin di AACC, Bandung. Praktis menjadikan paket hemat "Hertz Dyslexia" ini sebagai kombo yang tak terelakkan.

The Sandro Rayhansyah Review : Monkey To Millionaire - Lantai Merah


Artist : Monkey To Millionaire
Album : Lantai Merah
Year : 2009
Review Score : 8 of 10




Monkey To Millionaire adalah band indie jebolan L.A Light Indie Festival edisi tahun kemarin bersama The Morning After, Wind Cries Mary, dan band-band indie lainnya. Tak seperti teman-teman band seperjuangan mereka di festival indie tersebut yang sekarang hilang entah kemana, Monkey To Millionaire adalah band yang paling terdengar dan disebut di antara band-band indie festival rokok manapun. Walaupun single "Rules and Policy" mereka di album kompilasi tersebut hanya terdengar berlalu begitu saja di telinga saya, makin kesini mereka berhasil membuktikan bahwa mereka bukan band-band indie latah yang kesekian kalinya terlalu mencoba menjadi keren untuk ber-rock n roll dengan lirik sok berbahasa inggris.

Dibawah naungan Sinjitos Records yang juga menaungi nama-nama besar seperti Gugun and The Blues Shelter, hingga Santamonica, 'Lantai Merah' adalah album debut 'tidak biasa' yang di-package secara serius dari segi industri dan kualitas.

Untuk informasi, bulan kemarin sempat diadakan release party untuk album ini yang diadakan di score citos. Tak tanggung-tanggung, nama-nama besar seperti The Porno, Gugun and The Blues Shelter, dan Santamonica didaulat menjadi opening act untuk pesta rilis band baru unik yang bernama Monkey To Millionaire ini, yang jujur saja kita tahu semua band ini belum ada apa-apa-nya secara popularitas. Bahkan, mereka tiba-tiba diendorse oleh Wrangler (bahkan juga didesain Monkey To Millionaire Signature Version untuk jeans dan kaos produksi Wrangler), padahal pertanyaan simpel saja belum tentu bisa dijawab banyak orang, "siapa mereka?". Tapi, terlepas dari semua itu, yang pasti ini adalah bukti konkrit yang serius dalam strategi promosi dari pihak management sekaligus label yang terlihat sangat supportif terhadap mengorbitkan band baru mereka.

Ketika mendengar free download single "Merah" ataupun single radio "Replika", tak sulit untuk menebak bahwa Weezer, The Lemonheads, Nirvana, Strokes, hingga Arctic Monkeys adalah oknum-oknum yang paling bertanggungjawab dalam memberi pengaruh musikalitas kepada trio-monyet-rock ini. Atmosfer Monkey To Millionaire di "Lantai Merah" adalah kejayaan gerakan alternatif/indie rock tahun 90an-00an dengan mazhab yang mengambil kiblat yang lebih ke 'arah britpop'. Rumus andalan mereka adalah indie-rock minimalis penuh distorsi gitar dengan kadar seperlunya, diramu dengan lirik campuran indonesia-inggris berkelas, tidak asal bahasa inggris supaya terdengar cool, dan kebetulan kualitas lirik Indonesia mereka yang mampu menyaingi departemen lirik Efek Rumah Kaca sekalipun. Tentu saja perihal krisis identitas yang dialami banyak band indie rock lokal sekarang, berhasil mereka tepis dengan baik. Mutlak dengan modal musikalitas dan lirik yang tidak dimiliki banyak orang, Monkey To Millionaire sudah akan membuat banyak band indie rock lokal iri.

Dari sisi produksi pun, "Lantai Merah" jelas tidak main-main. Lirik dan musikalitas cerdas mereka adalah dua taring sama kuat yang akan menjadi bekal utama 'monyet-monyet calon jutawan' ini untuk tak akan begitu saja menghilang berlalu dari peredaran kancah musik lokal dalam beberapa tahun ke depan. Mereka berhasil total me-interpretasi setiap lagu dengan lirik berbait line-line kalimat yang menjadi signature 'khas' dari setiap komposisi di "Lantai Merah". Coba simak "Replika" yang bercerita tentang protes trend gaya hidup dan pola pikir, dimana Wisnu (Vokalis-Gitaris) bersuara "Satu Melakukan, Maka Lakukan Semua" bagai 'replika' Julian Casablancas versi kw1 yang elegan. Kemudian "Merah" yang sangat atmoferik dengan suasana ambience duet Gitar-Bass yang menusuk memperkuat tema keputus-asaan, "Mereka yang kita sayangi, yang paling mampu melukai" benar-benar mampu menghipnotis suasana dibalut dengan nada-nada yang penuh hook. Ada juga "Fakta dan Citra" yang menggabungkan pola sajak sederhana yang unik, "Seperti langit dan birunya, seperti diam dengan emasnya", "30 Nanti" yang berbicara tentang keprihatinan terhadap gejolak sosial yang dihadapi kaum perempuan diumur lewat 30 dengan elemen rock datar-kelam ala Interpol. Dan penutup ballada pop-rock manis yang menghadirkan bintang tamu yang tidak saya pernah dengar sebelumnya bernama Marsha bla2 (Maaf saya lupa), dalam satu nomor yang sangat catchy di "Strange is The Song In Our Conversation". Coba simak juga lirik berbahasa inggris di tiga lagu lainnya di "Let Go". "The Vow", dan"Clown" yang tak kalah menarik untuk dibandingkan dengan lirik bahasa Indonesia mereka.


From "Zero" to "Hero" adalah arti dari balik nama "Monkey To Millionaire" seperti yang mereka wacanakan. Dan "Lantai Merah" berhasil membuktikan semuanya. Credit besar untuk Iyup (Santamonica) yang berhasil memproduseri album ini menjadi terdengar lebih matang secara performa sound dan mixing. Alhasil, Monkey To Millionaire berhak naik langkah satu tangga menjadi 'pahlawan' sekaligus menjadi 'jutawan' (mungkin) lewat debut album impresif yang akan membuat banyak orang berdansa di "Lantai Merah".

The Sandro Rayhansyah Article : 50 Tahun Lebih Musik Populer Indonesia, Banggakah Kita?

-Sebuah Opini, Sebuah Sudut Pandang Dari Seseorang Yang Mulai Mencintai dan Menyadari Betapa Hebatnya Musik Populer Tanah Air Tercinta-

(PS : siapkan secangkir kopi atau sebatang rokok atau segelas eh teh manis anda sambil membaca tulisan yang panjang ini)

"musik Indonesia tidak berkualitas, enakan dengerin musik luar negri!"

"Wah lo dengerin musik Indonesia juga bro? Ha Ha Ha (dengan nada sindirar)"


Tulisan ini ditulis atas dasar motivasi akan kejenuhan saya menyimak dan mendengar deru opini-opini yang saya kutip di atas. Begitu sempit dan tidak berlandaskan dasar yang penting sekaligus kuat, menurut saya pribadi paling tidak. Lewat tulisan ini, saya mencoba memaparkan perjalanan musik populer Indonesia per-dekade dengan segala keterbatasan pengetahuan saya tentang sejarah musik populer di Indonesia. Inilah opini saya dalam usaha untuk memaparkan sebaik mungkin tentang industri musik Indonesia, entah yang dari saya baca, lihat, dengar, dan rasakan.

Decade 60’s
Melihat jauh puluhan tahun kebelakang, industri musik Indonesia (baca: populer) generasi 60an sayup sayup sudah mulai terdengar bergaung. Suatu pertanda embrio yang akan segera melahirkan bayi yang kelak tak disangka tumbuh dewasa dan jauh berkembang menapaki usia yang sudah genap 5 dekade lebih. British Invasion bertanggungjawab dalam melahirkan benih musisi populer di industri musik Indonesia kala itu. Pengaruh kepopuleran Beatles dan Rolling Stones kala itu membuat orang Indonesia mulai melihat ketertarikan untuk mencoba menjadi seperti mereka, John Lennon, Mick Jagger, hingga Elvis Presley, daripada menjadi petani atau guru. Sebelumnya musik populer Indonesia didominasi oleh musik-musik daerah dengan pendekatan modern, atau musik-musik 'NASAKOM" doktrin orde lama, lagu pengiring Soekarno di istana bersama istri-istrinya. Jika saya tidak salah, oknum-oknum tersebut antara lain Jack Lesmana, Bubi Chen, Oslan Husein, Bing Slamet, dll.

Koes Plus, raja 60an

Efek British Invasion membuat band-band populer lebih muncul secara mainstream mulai membawakan musik pop dengan pengaruh yang Soekarno sebut dengan istilah 'NEKOLIM' yang juga haram hukumnya bagi rezim orde lama. Dan jika menyebut satu, terucaplah Koes Bersaudara (kelak menjadi Koes Plus) sebagai band pop yang paling terlihat dan terdengar saat itu. Pengaruh musik Beatles dan Stones kala itu benar-benar memberi pengaruh luar biasa bagi wajah musik pop dunia, termasuk di Indonesia. Koes Bersaudara yang menganut doktrin nekolim ala pendeta berponi bernama Beatles tersebut, berhasil mengisi peran yang sama seperti Beatles dalam hal pengaruh musik pop di Indonesia, bahkan rock. Koes Bersaudara mengambil pengaruh Everly Brothers, Beatles, hingga Bee Gees untuk diramu dengan pop khas ala mereka. Selain mengantarkan mereka ke penjara tahun 1965, musik pop 'ngak ngik ngok' ala Koes Bersaudara adalah fondasi dasar dari wajah musik populer Indonesia tahun 60an dan seterusnya. Tak berlebihan jika disebut Koes Plus sebagai musisi terbesar di Indonesia nomor wahid sepanjang sejarah industri musik tanah air. Di sisi lain, 'figuran-figuran' di dekade 60an diisi oleh nama-nama lain seperti Dara Puspita, Titik Puspa, hingga Benyamin S.

Decade 70s
Musik Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat di dekade 70an. Besar dalam arti kata peningkatan secara kualitas, sekaligus juga penurunan secara industri. Pengaruh rock di dekade ini perlu digarisbawahi, remaja-remaja tidak lagi mendengarkan Beatles, mereka mengagung-agungkan sosok musisi seperti Deep Purple, Led Zeppelin, hingga Genesis. Akibatnya, muncul band-band rock bukan imitasi kacangan seperti The Rollies, Giant Step, AKA, dan living legend, God Bless. Hadir juga Gipsy (band awal Chrisye dengan Nasution bersaudara), Chrisye (solo), Yockie Suryoprayogo, Harry Roesli, Gombloh, Fariz RM, bahkan Rhoma Irama dalam kurun waktu 10 tahun tersebut. Begitu banyak yang bisa diceritakan dari setiap pelaku-pelaku musik pop 70an yang saya sebut barusan, dan begitu banyak album-album esensial berkualitas bintang lima yang dirilis di kurun periode 70an ini.
.
God Bless

Beberapa diantaranya adalah album debut God Bless yang dirilis tahun 1975. Dulu, di saat penurunan industri dalam konteks melayu di sepanjang dekade 70an, dimana musisi-musisi banyak ditawarkan untuk 'menjual diri' menyanyikan lagu melayu/dangdut dengan imbalan material yang menggiurkan, God Bless malah melawan industri dengan karya-karya rock luar biasa tanpa kompromi seperti "Rock di Udara", "Setan Tertawa", dll melalui album debut mereka dalam kadar rock yang total. Atau anda bisa dengar album "Cermin" yang berasal dari band yang sama. Album ini kembali dilontarkan ke pasar pada kondisi industri makin tak karuan, disaat rilisan album pop melayu, pop keroncong,dan pop jawa sudah dalam kuantitas yang tidak sehat lagi. Hal yang sama terjadi pada rilisan Koes Plus yang ternoda dengan dominasi industri saat itu. ""Cermin" adalah perlawanan dan bukti totalitas komitmen kualitas dari God Bless kala itu terhadap kenyataan industri musik populer Indonesia. Bernuansa progresif rock tingkat tinggi, bahkan di jaman Dream Theater belum lahir sekalipun. Ditambah dengan dominasi lirik dengan konteks yang sangat jujur dan idealis pada departemen lirik God Bless. "Musisi", "Cermin", hingga "Anak Adam", mutlak menjadikan album ini salah satu album terbaik lokal yang pernah dimiliki Indonesia.

Disuatu sisi, beruntung dekade 70an memiliki Guruh Soekarno Putra, putra bungsu dari "The Man" Soekarno, yang bersosok sangat kontradiktif. Anak dari segala kemewahan dan kekuasaan, tapi memiliki bakat yang sangat jenius dalam bidang seni dan kecintaan terhadap musik etnik dan alat musik tradisional. Menggaet Gipsy, membentuk Guruh Gipsy, melahirkan album self-titled yang classic dengan performa maksimal. Inilah musik rock dalam paduan seni dan perkawinannya dengan musik etnik yang eksperimental. Mendengarkan album ini membuat saya sungguh tidak percaya album ini dirilis tahun 70an. "Guruh Gipsy" sangat melintasi waktu puluhan tahun kedepan. "Geger Gelgel" membuat saya merinding, merasakan begitu luas dan liar-nya ruang eksperimen Guruh dan Gipsy. Hanya jenius yang bisa membuat album fusion antara progresif rock yang di-hybrid-kan dengan keagungan bunyi gamelan hingga talempong asli Indonesia seperti ini, bisa terdengar sangat pop. Dan Guruh Gipsy telah membuktikannya. Oya, Chrisye di album ini menjadi pemain bas dan pengisi vokal di beberapa track. Tak kan ada Discus dan Kantata Takwa tanpa album ini, dan juga musisi-musisi lain yang mencuri elemen pelaburan musik yang tidak lazim ini.
Guruh Gipsy

Bicara soal musik pop, tiada lain yang paling pantas disebut selain album "Badai Pasti Berlalu". Disaat cinta makin mendayu dan makin melayu versi 70an, Eros Djarot mengajak Yockie Suryoprayogo, Chrisye, dkk, untuk mendobrak keseragaman lirik cinta bodoh tersebut dengan lagu dengan interpretasi lirik yang berbeda. Klasik seperti "Cintaku", "Serasa", ”Merpati Putih" hingga "Badai Pasti Berlalu" adalah jejak awal Chrisye dalam meniti karir sebagai salah satu penyanyi solo terbaik sepanjang masa di Indonesia seiring dengan Iwan Fals.

Figuran-figuran lain di dekade 70an, ah, maaf, maksud saya oknum-oknum signifikan lain di dekade ini, adalah seperti Harry Roesli yang menghasilkan rock opera legendaris bertajuk "Ken Arok", beberapa rilisan rock dari Giant Step-Rollies-AKA-Shark Move, Kolaborasi Live Yopie Item-Idris Sardi, dll. Oya, termasuk album Rhoma Irama yang menghasilkan hits "Begadang", awal dari sejarah musik goyang sejuta umat di Indonesia, suatu campuran rock dengan nuansa musik india dan timur tengah, bernama Dang-Dut. Rhoma Irama seingat saya dari dulu sampai sekarang adalah penggemar berat Deep Purple. Beliau adalah rocker yang mempunyai alter ego yang tidak lazim, membuat orang bergoyang sekaligus berdakwah. Dan Duo Kribo (Ahmad Albar dan Ucok Harahap), juga sempat merilis album dengan hits populer seperti "Panggung Sandiwara" ataupun "Neraka Jahanam".

Chrisye



Decade 80an
Memasuki dekade 80an, Indonesia diberkahi Bob Dylan dan David Bowie yang bernama Iwan Fals dan Fariz RM. Duo ini adalah penyanyi-penyanyi yang paling disebut sepanjang dekade 80an seiring dengan meroketnya popularitas Chrisye dengan album-album seperti "Resesi", "Nona", dll. Fariz RM mewakili musik pop Indonesia yang populer dalam konteks yang lebih mainstream, sedang Iwan Fals lebih menyuarakan derita ketertindasan rakyat lewat karya folk-rock beliau.

Iwan Fals

Fariz RM

Supergroup bernama Swami sempat meramaikan dekade Michael Jackson ini. Berisikan dedengkot-dedengkot senior yang menyatukan visi dan misi untuk menjalankan fungsi kritik dari musik rock. Merasa janggal dari rezim feudal Soeharto yang tidak turun-turun tahta, disuatu sisi orang kaya (borju, konglomerat) semakin banyak, tak sebanding dengan orang miskin yang makin melarat dalam kuantitas merata, menyebar, sekaligus menyeluruh di negara korup ini. Lahirlah "Bongkar" ataupun "Bento", suatu deklarasi protes dan ketidaksetujuan terhadap kondisi sosial-politik Indonesia dari supergroup yang diperkasai oleh Iwan Fals, Sawung Jawo, dan disupport oleh budayawan ’rebel’, Setiawan Jhody.

God Bless kembali hadir dengan album yang kembali meraih sukses secara kualitas dan juga jualan (akhirnya). "Semut Hitam" di tahun 86 menjadi bukti eksistensi salah satu band paling berkualitas di Indonesia. Siapa yang tidak kenal dan hafal luar kepala anthem-anthem populer seperti "Semut Hitam", "Kehidupan", hingga "Rumah Kita"?.

Gerakan rock alternatif kloter kedua mulai kembali bergema lewat banyaknya festival-festival band rock yang melahirkan generasi-generasi band rock yang kelak akan menjajah blantika musik rock Indonesia di dekade 90an. Festival Band Rock Populer Indonesia yang dicetus oleh Log Zhelebour adalah awal bagi band-band rock seperti Grass Rock, Boomerang, Roxx, Andromedha, Power Metal, hingga Slank.

Memang aktor-aktor lain di dekade ini lebih diramaikan oleh kehadiran penyanyi-penyanyi pop 80an full synth, bunyi-bunyian keyboard norak, sekaligus gaya berpakaian yang culun. Tambah lagi pop 'kreatif' seragam ala Rinto Harahap, Obbie Messakh, dan teman-teman. Oya, juga ada lady rocker Nicky Astria. Beruntung Tuhan menganugrahkan talenta-talenta seperti Fariz RM, Chrisye, Iwan Fals, oya dan Ebiet G. Ade untuk menyelematkan musik Indonesia di dekade paling 'pop' di sejarah musik Indonesia.



~Bridging the Decades~
Dua dekade selanjutnya adalah evolusi dari industri musik yang secara perlahan-pelahan tapi pasti menuju perubahan akan suatu era baru di industri musik tanah air. Ketika teknologi semakin berkembang, internet merubah segalanya tentang musik. Baik dari segi format, distribusi, bahkan sampai pada pengaruh akan kualitas. Ragam genre mulai muncul pada permukaan, TVRI tiada lagi mendominasi chart video klip anak negri, RCTI hadir, hingga MTV menyusul dipertengahan 90an memberikan pertanda baik sekaligus buruk akan masa depan musik populer Indonesia.

Decade 90s
Awal 90an, munculah terobosan dari kumpulan anak muda pengangguran yang bergaya 'tidak sopan' . Ya, siapa lagi kalau bukan Slank. Merilis album "Suit Suit He..He.." diawal 90an, Slank membuat jutaan anak muda Indonesia mendadak menjadi slenge'an dan menggemari gaya mereka yang 'apa adanya'. Slank adalah band rock dengan cita rasa Indonesia yang kental. Di saat anak muda Indonesia memanjangkan rambut mereka untuk menjadi Bon Jovi, Guns n Roses, dan Mr. Big, hingga Nirvana dengan grunge yang membuat anak muda Indonesia merobek bagian lutut di celana jeans biru mereka, Slank tidak terjebak dalam hal trend mengikuti pola musik barat 90an. Rentetan album "Kampungan", "Piss", hingga "Generasi Biru" adalah album rock n roll dengan cita rasa Indonesia. Lirik mereka adalah suara hati jutaan anak muda Indonesia. Image mereka pun dekat dengan kita semua, tidak berlebihan sama sekali. Tidak heran komunitas Slankers lahir dan tumbuh cepat menjadi komunitas musik terbesar yang pernah ada selama sejarah industri musik Indonesia. Walaupun sempat gonta-ganti personil akibat drugs, Slank sampai detik ini tetap masih menyandang status sebagai band rock paling populer nomor satu di Indonesia, bahkan melewati pendahulunya, God Bless.
Slank

Dikonteks pop mainstream, band-band pop alternative mulai muncul bagai air mengalir. Namun hanya sedikit beberapa di antara mereka yang pantas dicatat dalam sejarah. Di antara mereka adalah seperti Dewa 19, Kla Project, dan Gigi.

Dewa19

Dewa 19 adalah band pop/rock asal Surabaya, dimotori oleh Ahmad Dhani, Andra Ramadhan, dan Ari Lasso yang sampai sekarang pun nama-nama mereka masih terdengar lantang lalu lintas di trend musik tanah air. Single "Kangen" membuat Dewa 19 naik kasta sebagai salah satu band yang sangat populer kala itu bersanding dengan Kla Project yang sebelumnya sudah curi start. Dewa 19 bukanlah femonena sesaat, mereka bukan one hit wonder band yang di album kedua atau ketiga akan punah dimakan zaman yang menjadi krisis banyak band pop saat itu. "Terbaik Terbaik" adalah album puncak musikalitas Dewa 19 yang dirilis di pertengahan 90. Menjadikan Dewa 19 mutlak sebagai salah satu koki penting dalam membentuk rajikan musik populer yang paling dipakai sekaligus ditiru band-band kacangan jaman sekarang. Menjadikan Ahmad Dhani adalah salah satu dari contoh figur komplit dari seorang musisi yang jenius. Setiap album Dewa 19 mempunyai hits yang sangat populer, dan curangnya juga jualan dari penjualan kaset dan cd.

Bersama Dewa 19 dan KLA Project, Gigi juga adalah penguasa musik pop dekade 90an. Tidak seperti dua band tadi yang sukses secara penjualan, kepopuleran Gigi tidak terlalu didukung dengan penjualan yang memuaskan. Gigi lebih dikenal sebagai band panggung yang hebat. Mereka memiliki Armand Maulana sebagai sosok vokalis yang berkarakter kuat hingga duo gitar maut Dewa Budhajana dan Baron yang merupakan formasi klasik mereka dikisaran tahun 1995. Hits abadi seperti "Janji” ataupun ballad ”Yang Tlah Berlalu (Nirwana)” adalah repertoir klasik Gigi di setiap panggung mereka.

Disisi yang sebaliknya, kepopuleran Metallica, Megadeth, Slayer, Sepultura, dll membuat hasrat metal anak muda Indonesia tak tertahankan. Jebolan festival rock Log Zhelebour, me-roketkan mesin tempur metal pertama yang sukses secara popularitas bernama Roxx. Mereka bagai pahlawan bagi scene musik rock lokal yang haus akan idola metal dengan sosok yang keren seperti Metallica, dan band-band metal yang saya sebut di atas. Roxx tampil dengan rambut gondrong, kaos hitam, jeans, dan musik speed metal yang liar. Roxx terlihat begitu cool, sangar, dan begitu metal. Lahirlah album debut "Roxx" yang merupakan album metal paling signifikan dalam sejarah musik cadas di scene lokal Indonesia. "Rock Bergema" adalah anthem musik rock Indonesia tak terbantahkan sepanjang masa. Mereka menginspirasikan semua band-band rock/metal Indonesia saat itu untuk mulai berani unjuk gigi ke khalayak ramai. Suckerhead, Puppen, Netral, Boomerang, Jamrud, PAS Band, Getah, Burgerkill, Koil, dan semua band rock/metal mainstream/non-mainstream pasca album "Roxx" tanpa terkecuali terinspirasi dan berhutang budi kepada Roxx.

Musik underground dalam arti kata musik yang tidak populer secara mainstream juga mulai menunjukkan taringnya. Bukan berarti dengan tidak dikontrak oleh label besar dan tampil di TVRI, memutuskan harapan mereka untuk berkreativitas di scene musik Indonesia. Scene Bandung adalah scene yang banyak mempengaruhi gerakan mandiri (DIY) yang kemudian dikenal dengan istilah independent atau indie. PAS BAND dengan "4 Through the SAP" diklaim sebagai album indie pertama yang dirilis di Indonesia. Distribusi mandiri, dan pola lagu yang independent tanpa ketergantungan pada trend musik pop, adalah nyawa dan tanda genderang dimulainya pergerakan indie di Indonesia. Sebuah scene non-mainstream yang kelak menghasilkan band-band prima kualitas namun minim apresiasi masyarakat luas secara popularitas.

Dipertengahan 90an kembali kita mendengar gaung kecil akan nama-nama seperti Rumah Sakit, Getah, Tengkorak, Puppen, hingga Pure Saturday. Scene indie ini menawarkan beragam macam genre, mulai dari power pop sampai ke metal yang thrash/death sekalipun. Pure Saturday adalah salah satu band indie yang paling kedengaran gaungnya. Band ini memiliki popularitas yang luar biasa di kota asalnya, Bandung. Merilis album self titled "Pure Saturday", nomor-nomor klasik seperti "Kosong" dan "Coklat" mengantarkan mereka sebagai legenda band indie yang terlupakan.

Dipenghujung dekade 90an, Indonesia kembali diberkati dengan band-band million copies berkualitas. Di tahun 1999, Padi dan Sheila on 7 menjajaki popularitas mendadak dengan album yang terjual 1 juta kopi lebih. Dari segi kualitas mereka tak kalah, Padi hadir dengan single "Sudahlah" yang terdengar cukup tidak common kala itu tapi menjadi hit radio populer yang menjadi magnet utama debut mereka selain "Begitu Indah" ataupun "Mahadewi". Padi terdengar seperti U2 dengan vokalis mirip Eddie Vedder (Pearl Jam). Bersama Padi, Sheila on 7 menjelma menjadi prototype dari gabungan Slank dan Dewa 19, menjadikan mereka benchmark jutaan anak muda Indonesia untuk berlomba-lomba menciptakan band dengan lagu simple, yang penting hits, populer, dan laku.

Sungguh tidak lengkap dokumentasi dekade ini kalo kita tidak membicarakan band lawak yang serius bernama Naif. Pria-pria kurang kerjaan dari IKJ ini tiba-tiba muncul ke permukaan dengan gaya mereka yang berani nekat melawan arus industri. Fashion 70an, celana cutbray, hingga kacamata jadul, dan bernyanyi tentang pamer mobil balap baru yang kemuditan ditilang polisi, adalah image 'absurd' (sebagian memang berpikiran seperti ini waktu itu) yang mereka tawarkan ke industri musik sebagai alternatif. Namun siapa sangka lambat laun gerakan alternatif Naif adalah movement yang inspirasional bagi band-band yang mengikuti jejak Naif sebagai alternatif industri yang tidak bisa dipandang sebelah mata. White Shoes & the Couples Company, The Brandals, The Upstairs, adalah sedikit dari banyak nama yang mempraktikkan langsung pergerakan 'indie' tanpa basa-basi turunan Naif. Apresiasi untuk Naif ditandai dengan album tribute to Naif yang dirilis di tahun 00an. Goodnight Electric, Tika, Brandals, the Adams, adalah rooster yang meramaikan salah satu album tribute terbaik yang pernah ada di Indonesia ini.
Naif


Decade 00s
Millenium baru ditandai dengan pergerakan indie yang makin menjamur seiring dengan popularitas mereka yang mulai menyaingi nama-nama besar di musik mainstream. Di area mainstream, begitu banyak band-band baru yang bermunculan. Dan begitu banyak pula di antara band-band baru tersebut berlalu begitu saja. Kualitas musik populer kembali terjangkit penyakit melayu akut, bahkan banyak band-band populer yang berkualitas di dekade-dekade sebelumnya mengalami penurunan kualitas musik yang memalukan dengan ikut-ikutan arus industri.

Pelaku-pelaku lama yang paling berpengaruh di dekade ini salah satunya adalah Dewa (Dewa 19 tanpa embel-embel 19). Mengganti vokalis yang mana adalah nyawa dari ciri musik suatu band, adalah perkara yang tidak gampang. Apalagi kalau vokalis band tersebut adalah penyanyi sekaliber Ari Lasso yang begitu mempunyai signature yang khas sebagai seorang vokalis. Tapi ”Bintang Lima” membuktikan bahwa Dewa bukan band kelas dua. Once menggantikan peran Ari Lasso dengan karakter yang jauh berbeda denganya, dan uniknya sama kuat. ”Bintang Lima” adalah album pop-rock dengan sentuhan lirik-lirik romantisme dengan pendekatan yang paling dicoba untuk ditiru oleh band-band dengan berlirik cinta seadanya seperti kebanyakan band-band melayu sekarang. Aransemen album ini sangat cutting edge, hingga orkestrasi, dan sound-nya sangat detail. Dirilis tepat tahun 2000, ”Bintang Lima” adalah salah album terbaik Indonesia dalam menyambut era milenium. Laris manis hampir mencapai angka penjualan 2 juta kopi.

Padi, Sheila on 7, dan juga Jamrud merilis beberapa rentetan album penting di awal tahun. Padi merilis ”Sesuatu yang Tertunda”-yang diklaim merupakan album terbaik Padi secara kualitas. Sheila on 7 makin meroket secara popularitas dengan album ”Kisah Klasik Untuk Masa Depan”, dan Jamrud merayakan ”Ningrat” yang mencetak sejarah sebagai album rock paling laku dengan angka menembus 1 juta kopi lebih.

Fenomena lain adalah band asal Bandung yang bernama Peterpan. Walau konsistensi akan kualitas band ini selalu menjadi bahan perdebatan, Peterpan tetap adalah band yang kelak akan paling diingat selama dekade ini. Suka tidak suka anda seakan tak akan bisa lepas dari teror lagu-lagu mereka yang diputar dalam intensitas yang berlebih di setiap TV, radio, dan bahkan dimana-mana. Angka fenomenal 3 juta kopi untuk ”Bintang di Surga” saya yakin bukan angka yang bisa didapat dengan mudah oleh propaganda promosi belaka, melainkan adalah suatu bukti bahwa Peterpan bagaimanapun juga, adalah band yang layak untuk diperhitungkan. Disamping mereka, rooster Musica Studios menyimpan pasukan-pasukan lain seperti Nidji yang britpop-oriented, Letto dengan filosofi-pop mereka, hingga Project Pop yang jenaka.

Di dekade ini, scene indie membuktikkan bahwa scene ini memang bukan scene marginal yang cadangan secara popularitas. Dari tahun ke tahun, pergerakan indie menyebar epidemik bagai virus yang semakin menjangkit massa yang semakin luas dan beragam. Mereka memang mempunyai fanbase yang kecil dibandingkan band-band mainstream yang populer, tapi keunikan scene indie ini adalah mereka memiliki fanbase yang loyal, ada dari waktu ke waktu, dan pertumbuhan yang mulai menunjukkan kuantitas yang signifikan dalam jumlah komunitas hingga populasi. Hal ini common terjadi mungkin sebagai dampak dari apresiasi sebagai masyarakat kepada kualitas akan musik dan lirik yang benar-benar diprioritas-utamakan oleh kebanyakan band-band indie saat itu hingga sekarang.

Adalah The Adams, The Brandals, The Upstairs, Mocca, White Shoes and the Couples Company, hingga Seringai, nama-nama yang paling terdengar dalam memulai pergerakan ‘bawah-tanah’ kloter ke-dua ini. Popularitas band-band ’kelas dua’ seperti mereka mulai bersaing dengan nama-nama besar di alur mainstream. Masing-masing band indie di atas cendrung memiliki influence musik yang bagus dan beragam, lalu berhasil meramu elemen-elemen tersebut dengan identitas Indonesia, sehingga terdengar lebih fresh dan tidak mono. The Adams dengan power-pop leburan The Beatles dengan Beach Boys, The Brandals yang membunyikan kembali garage rock lama dengan sound yang vintage lewat suara desah nafas kehidupan urban Jakarta, The Upstairs yang post-punk dengan berakarkan pada synthpop/new-wave, Mocca yang indie-pop beraroma swing, bossanova, hingga jazz, White Shoes and The Couples Company yang kembali ke 70an dengan retro-pop khas Indonesia asli, hingga metal/rock barbarian perkawinan Motorhead dan Black Sabbatth ala Seringai, dan masih sangat banyak lagi band-band indie lain yang tak kalah hebat dengan identitas mereka yang unik satu sama lain secara image, fashion, dan musikalitas. Menjadikan fenomena scene indie ini sebagai hal yang relevan dan wajar terjadii, ketika masyarakat Indonesia mulai mencapai titik jenuh yang dikarenakan oleh supply akan musik populer mainstream makin lama makin mulai semakin seragam, monoton, dan itu-itu saja.

White Shoes and The Couples Company

White Shoes and The Couples Company pada akhir 2008 kemarin berangkat tour ke US dan diundang dalam suatu konferensi musik di daerah sana. The S.I.G.I.T sempat melakukan tour gerilya di Australia, dan menjadi opening act untuk Dallas Crane (band rock populer di Australia). Mereka juga diundang oleh SXSW Festival 2009 (festival musik di Austin, US), dan melakukan tour di beberapa tempat di US. Burgerkill awal 2009 melakukan satu bulan tour full lewat Australia Invasion di Australia, dan melakukan showcase di beberapa negara di Asia Tenggara. Mocca sering diundang bermain di Singapore, Malaysia, dan bulan kemaren baru saja datang dari Korea. Goodnight Electric sempat merasakan festival electronic/dance di Eropa. The Upstairs, dan Maliq and D’essensial sempat berkunjung ke Malaysia. Ini semua adalah sedikit contoh sekaligus bukti betapa musik anak negeri begitu diperhitungkan dalam kancah internasional.
The S.I.G.I.T


Sebagian orang menilai masyarakat pendengar musik Indonesia makin tidak karuan secara kualitas selera musik dengan kehadiran band-band melayu seperti Kangen Band, D’massiv, Wali, dan kawan-kawannya. Saya tidak bilang mereka tidak bagus untuk menjadi band cinta yang mendayu-dayu, tapi sepertinya masih banyak band-band yang jauh lebih inovatif dari mereka dari hal lirik yang disampaikan hingga musikalitas yang ditawarkan. Dan merekalah yang sekiranya hendaknya dijadikan representasi akan bagaimana kualitas musik Indonesia. Sekali lagi, ini menurut opini dan selera saya.

Now
Dan sekarang adalah tahun 2009, tak terasa dekade ini berlalu dengan cepat dan kita sudah berada hampir diujung periode. Makin kesini, makin banyak bermunculan pendatang baru, dan makin tidak jelas standar yang ada. Tapi yang pasti, segenap nama-nama yang saya sebut di atas adalah alasan-alasan yang dapat kita banggakan akan industri musik Indonesia. Dan pastinya, masih banyak nama-nama hebat lain yang mungkin tidak saya bahas lebih dalam, atau memang tak tersebut sama sekali mengingat keterbatasan pengetahuan saya tentang musik Indonesia.


Short Conclusion
Inggris boleh berbangga mereka punya The Beatles, Led Zeppelin, Rolling Stones, hingga Oasis, Blur, Arctic Monkeys, dll. Amerika Serikat boleh sombong dengan Bob Dylan, Elvis Presley, hingga Nirvana, Pearl Jam, White Stripes, Strokes, Killers, dll. Tapi jangan lupa, kita, Indonesia, punya :
Koes Plus, God Bless, Iwan Fals, Chrisye, Fariz RM, Yockie Suryoprayogo, Guruh Gipsy, Harry Roesli, Jack Lesmana, Yopie Item, The Rollies, Shark Step, Giant Move, Ebiet G. Ade, Rhoma Irama, Superkid, hingga Slank, Roxx, Dewa19, Gigi, KLA Project, Naif, Edane, Padi, Sheila on 7, PAS BAND, Boomerang, Pure Saturday, White Shoes and The Couples Company, Efek Rumah Kaca, Mocca, The Brandals, The Upstairs, The S.I.G.I.T, Goodnight Electric, Koil, Seringai, Puppen, Siksakubur, Dead Squad, Tengkorak, Zeke and the Popo, Nidji, dan masih banyak lagi list yang mungkin saya lupa dan yang akan muncul kedepannya nanti, yang patut kita banggakan bersama, atau paling tidak bagi saya pribadi.

Yang pasti, kita pun dapat bangga bahwa musik dalam negeri kita menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, Indonesia.....






The Sandro Rayhansyah Article
June 2009

The Sandro Rayhansyah Review : Greenday - 21st Century Breakdown

Artist : Green Day
Album : 21st Century Breakdown
Year : 2009
Score : 8,5 of 10







Kembalinya pahlawan punk kebanggaan (sekaligus paling dibenci?) Amerika yang telah berada pada jalan dan alur yang benar, melanjutkannya perjalanannya, sekaligus semakin mematangkan identitas. Billie Joe Armstrong (Vokalis, Gitaris) dkk bukanlah lagi bocah-bocah berandalan punk paruh baya yang hanya bisa menyanyikan basketcase tanpa punya masa depan yang jelas. Pasca "American Idiot", Greenday menjelma menjadi semakin berontak, pembangkang, sekaligus propagandist paling berbahaya Amerika di era paling ironis Amerika, dimana Amerika mundur 40 tahun kebelakang ketika kita bicara tentang intelektualitas dan kemanusiaan yang diprakarsai oleh tokoh antagonis utama pada drama opera musikal "American Idiot" 5 tahun lalu, yang bernama George W. Bush.

Jika "American Idiot" berbicara tentang segala protes dan perlawanan terhadap betapa kelam dan kejamnya rezim Bush kala itu, "21st Century Breakdown" adalah sekuel sempurna rock-opera Greenday yang melihat sisi lain dalam segala bentuk keoptimisan era baru Amerika versi Obama dalam harapan, mimpi, chaos, kecewa, dan kepasrahan sisa-sisa rongsokan pasca-era Bush. Opera ini menceritakan tentang pasangan kekasih Christian dan Gloria yang hidup pada zaman merangkai kepingan-kepingan american dreams dan harapan yang hancur berkeping-keping sepeninggalan "American Idiot". Terbagi layaknya dalam 3 chapter, "Heroes and Cons", ""Charlatan and Saints", dan "Horseshoes And Handgrenades’", album ini adalah mutlak dokumentasi kemunduran abad 21 Amerika (secara spesifik) yang terdeskripsi jelas pada tembang "21st Century Brekadown", tersurat sekaligus tersirat pada skenario-skenario berdarah dan perang pada "Last Night on Earth" hingga "Peacemaker", dan terangkum baik dalam histeria massal akan kekecewaan seperti pada kemunafikan keseragaman di "East Jesus Nowhere", kemandekan serikat ini di "the Static Age" dan "American Eulogy", hingga secercah ke-optimis-an pada lagu penutup "See the Light".

Secara musikal, Greenday mengalami fase penyempurnaan musikalitas mereka yang merupakan hasil hybrid punk-rock khas mereka dengan elemen-elemen classic rock hasil experimen di "American Idiot", plus hook dan rismis yang terpengaruh banyak genre. Mulai dari standard punk alternative yang organik pada "21st Century Breakdown" dengan lirik yang lennon-isme (My Generation is Zero/I Never Made It As Working Class Hero). Deklarasi anti perang pada "Know Your Enemy" yang mengingatkan pada rumus punk mereka dengan sound tebal plus ritme ala "American Idiot", "Before the Lobotomy" yang mencuri hook chorus ala Weezer, ballada "Last Night on Earth" yang menghanyutkan, hingga nuansa latin rock dengan bass Mike Dirnt yang sangat groovy pada "Peacemaker". Bahkan Greenday sempat bertransformasi menjadi the Hives membawakan "Horseshoes And Handgrenades" yang meledak-ledak bagai bom dalam garasi dengan riff kasar ala "Main Offender".

Greenday sukses berat dalam kembali menghadirkan opera-rock sekuel yang secara kualitas melebihi pendahulunya, "American Idiot". "21st Century Breakdown" adalah masterpiece buah pemikiran mantan bocah punk yang berbicara lantang tentang isu nasionalisme amerika dalam pendekatan yang realistis. Membuktikan bahwa untuk mencintai negara mereka dan menjadi seorang nasionalis tidak harus membuat lagu dengan judul "I Would Die For America Only" ataupun "America is Superior Peaceful Country, If You Know My friend" (Haha). Bernyanyi tentang kejanggalan dan kebodohan negara sendiri bukankah suatu tanda nasionalisme juga?. Saya yakin dan percaya misi Greenday menghipnotis berjuta-juta penduduk dunia untuk bersorak "F*Ck America, American Idiot" bukanlah tindakan bodoh tanpa pemikiran jangka panjang. Dan hal ini masih berlaku dan relevan bagi kelanjutan cerita seputar teman-teman (idiot) kita di America melalui "21st Century Breakdown".

Tak banyak band yang berani bereksperimen dengan format album rock opera, karena album tipikal seperti ini menuntut sesuatu fondasi yang harus konseptual untuk membikin rock opera yang terdengar tidak kacangan, ataupun tidak hanya sekedar men-dongeng dan bercerita. The Who "Tommy ataupun Pink floyd "The Wall" adalah contoh album rock opera esensial sepanjang masa. Saya rasa dalam beberapa tahun ke depan adalah hal yang wajar untuk menyajarkan "21st Century Breakdown" dengan album-album classic di atas. Yes it is, Its Almost Classic!

The Sandro Rayhansyah Live Report : Rolling Stone Private Party 2009 : Rock 'n' Roll Propaganda

-7 Mei 2009, Kamis, @ Rolling Stone Live Venue, Kantor Rolling Stone Indonesia!-




Ini adalah event tahunan dalam rangka merayakan ulang tahun majalah kitab suci musik Indonesia (bahkan dunia), Rolling Stone. Oke di ulang tahunnya yang ke-empat ini Rolling Stone Private Party mengangkat tema "Rock 'n' Roll Propaganda" dengan mengusung C.U.T.S, Alexa, Edane, The Changcuters, God Bless, dan segenap peraih editor's choise awards sebagai agen propaganda tahun ini. Ditengah kondisi dengan isu pemilu saat sekarang ini, propanda melalui musik apalagi atas nama Rock 'n' Roll memang sesuatu yang sangat menarik dibandingkan propaganda tak penting para caleg-caleg hingga capres-capres yang berkoar atas nama kepentingan masing-masing.

Oya di Rolling Stone Private Party ini, hanya terbuka buat undangan. Undangan jika anda adalah pelanggan Rolling Stone, atau kebetulan anda punya kenalan teman pelanggan Rolling Stone. ;D. Haha.

Saya datang sekitar jam 6.30, terlihat para undangan sudah lumayan banyak memadati halaman luar kantor Rolling Stone. Mengisi buku tamu dan mengambil goodie bag, hey saya dan bro saya waktu itu, haris, sudah memasuki venue impian tempat kerja kami di masa depan, Rolling Stone. haha. Menunggu gate ke Rolling Stone Live Venue dibuka, saya menunggu dihalaman luar yang disuguhi beberapa snack dan oh yes starbucks yang dapat dinikmati secara gratis. Sungguh nikmat, karena saya kebetulan dari siang memang menahan haus dan lapar.

Satu jam saya habiskan menunggu berdiri sambil melihat banyak undangan-undangan yang sudak tak asing lagi juga hadir di acara ini seperti Abadi Soesman, Eet Syahranie, dan sempat menyapa salah satu editor RS, mas Soleh Solihun. Jam 7.30, gate dibuka dan semua undangan diperbolehkan masuk untuk menikmati hidangan makanan yang disediakan. Oh ini adalah gudang amunisi yang mewah untuk mengisi perut yang keroncongan ini. Konsumsi-nya pol, bintang lima, dan gratis! hehe.

Setelah perut tak bisa lagi menampung peluru, saya memutuskan untuk mencari spot ditengah depan stage untuk dapat menikmati 'hidangan utama' yang sebenarnya dari acara ini dengan view yang bagus. Kurang lebih jam 8.30, 3 screen di panggung mulai memutarkan beberapa footage. TVC sponsor, dan slide dari cover majalah setiap bulan menjelang edisi terbaru May 2009, edisi ulang tahun RS dengan cover luar biasa yang tidak biasa, yaitu God Bless. Dan footage Rock ’n’ Roll Propaganda, menandakan akan dibukanya kampanye-kampanye para agen propaganda rock ’n’ roll di perayaan ulang tahun ke-empat Rolling Stone malam itu.


1st Champagne - EDANE
Tak lama sesudah itu, terlihat di balik tirai utama yang juga merangkap sebagai screen besar, sosok bergitar SG yang sudah tidak asing lagi sudah siap berdiri kokoh di depan panggung, Ya, Eet Syahranie dan pasukan Edane sudah siap untuk membuka propaganda rock 'n' roll malam itu. Beberapa tembang lama Edane langsung dibabat dengan tanpa basi-basi, sungguh permainan gitar Eet malam itu menggila. Dengan dandanan smoked glam rocker dan gitar tipe SG kesayangan, bermain menguasai panggung dengan sesekali mengeluarkan gaya pamungkas "duck-style" ala Chuck Berry, skill gitar yang sudah tak usah dipertanyakan, sound tebal hard-rock 80an bagai peluru shotgun, Eet Syahranie benar-benar dapat disandingkan layaknya dewa gitar seperti Angus Young (AC/DC) ataupun Eddie Van Halen. Sayang saya bukan generasi Edane, sehingga saya hanya bisa mengikuti koor nyanyian pada lagu "Kau Pikir Kaulah Segalanya" dan "Time to Rock" saja yang sempat nge-hits di masa kala saya remaja dulu. Haha. Selebihnya dengan headbangin-ria, suguhan Edane malam itu sudah sangat lebih dari cukup bagi saya pribadi generasi padi ataupun sheila on 7. Haha. Salut buat Eet!

Kemudian acara dibuka dengan MC Arie Daginks dan Sarah Sechan. Tak banyak komentar tentang mereka berdua, selain mereka yang memang sangat lihai dalam mengocok perut penonton dengan menjelma menjadi Ahmad Dhani dan Maia versi KW1. Pembacaan editors choise awards, dan speech dari penerima adalah skenario award malam itu.

2nd Champagne - C.U.T.S
oke penampilan ini salah satu yang saya tunggu-tunggu, karena single "Beringas" menjadi top playlist dalam ipod saya beberapa hari belakangan. Band asal Bandung ini berformat dua orang vokalis cewe, dua orang gitaris cowo, dan satu orang drummer cewe. Lumayan impressif, walau agak sedikit krik-krik disana disini, tapi dimaafkan. Band baru untuk sepanggung dengan band sekaliber Edane, Changcuters, bahkan God Bless, tentu ini adalah tekanan luar biasa berat, tapi mereka melewatinya dengan lumayan. Membawakan 4 lagu kental dengan nuansa electrock/electroclash, dan lagu terakhir "Beringas", lumayan menjawab segala rasa penasaran saya terhadap band asal Bandung ini. Membuat saya cukup menantikan full album mereka. Mari menunggu!.

3rd Champagne - Alexa
Oke, pertama saya sadar modal awal saya akan menikmati konser mereka adalah saya tahu lagu mereka yang 'dewi', dan yang 'jangan pernah' (kalau tidak salah, hehe). Mencoba menikmati penampilan band ini dengan objektif, namun apa daya lagu pertama yang saya tidak tahu judulnya -tidak sampai selesai pun- membuat saya tak kuasa tegar berdiri ditengah, dan lebih memilih untuk kembali menyicipi hidangan steak yang sudah sepi antrian. Hehe. Tak terasa ketika saya kembali ke depan stage, mereka sudah berada pada setlist terkahir (syukur alhamdulillah haha). Eits, ternyata tiba tiba vokalis berseru "Let Me In The Sound, Sound, Sound!" di tengah-tengah lagu, dan riff single terbaru U2 pun tiba-tiba dimainkan "Get On Your Boots". Walau cuma sebentar, gimmick tersebut lumayan menarik, menunjukkan mereka juga berhak dan pantas disebut sebagai salah satu agen propaganda rock n roll malam itu.

4th Champagne - The Changcuters
Bicara soal band rock lawak ini, sebelumnya saya adalah salah satu dari beberapa orang yang memandang skeptis band ini. Band rock n roll yang kehilangan idealisme dan rela menjual diri untuk iklan-iklan ga penting. Mendengarkan Misteri Kalajengking Hitam, rilisan terbaru mereka, membuat saya berpikir ternyata dugaan saya salah. Mereka adalah band garage rock yang makin menunjukkan taring identitas mereka, dan tidak ada band rock n roll yang bisa diterima semua lapisan masyarakat layaknya seperti mereka. Dari anak-anak sampai nenek-nenek pun saya rasa pasti akan bersenandung dan bergoyang mengikuti "I Love U Biybeh" ataupun "Racun Dunia". Sesuatu hal yang belum bisa dicapai oleh leluhur garage rock sebelum mereka, sebut saja the Brandals, ataupun the S.I.G.I.T.

Dan kampanye propaganda mereka di RS Live Venue membuktikan segalanya. Editors Choise untuk "The Phenomenal" bukanlah sekedar wacana. Mereka adalah band dengan aksi panggung luar bisa. Tanpa basi-basi, tanpa neko-neko, dan hey ini baru namanya 100% Premium Rock n Roll. Tria sang vokalis bener-bener merasuki jiwa dan peran penting seorang frontman band rock seperti Mick Jagger. Paduan suara di "Hijrah di London", dan "I Love U Biybeh" adalah bukti bahwa dia adalah frontman yang bisa mengajak massa, selain keahlian dalam lawakan dia tentunya.. "Gila-Gilaan" dan single baru, "Main Serong", menutup konser bersama changscuters yang memang sangat fun, berbahaya, sekaligus menyenangkan. Aksi Tarzan Tria manjat diatas pangggung adalah adegan berbahaya yang 'please dont try this at home'. Haha. Sehabis Changcuters turun panggung, dengan bangga tolong count me in sebagai salah satu anggota Changcut Rangers baru. Hehe.

-Selanjutnya adalah toast bersama untuk merayakan ulang tahun RS, petinggi-petinggi RS hadir disana, dan tentunya oleh semua dream-team RSI yang berkumpul semua diatas stage-

Final Champagne - GOD BLESS
Ketika toast bersama selesai, dan dream team RSI turun panggung, kita semua tahu bahwa yang tersisa tinggal adalah alasan 90% orang datang ke rock n roll propaganda ini. Screen besar menutupi stage dan memutar footage kecil yang bertuliskan nama yang dinanti-nantikan untuk hadir dan menutup semua kampanye propaganda rock n roll malam itu. Tidak terlalu jelas terlihat sosok-sosok band yang sudah siap dengan alat-alatnya dibalik layar besar ditengah. Pun tidak terlalu susah untuk menebaknya, karena sudah pasti dibalik layar itu adalah mutlak, alasan mengapa saya dan 2000 orang undangan lainnya memadati RS Live Venue tepat jam 11.30 malam. Tak lama, intro klasik "Huma di Atas Bukit" berkumandang diringi dengan sorakan haru para penonton, “THIS IS IT, THIS IS OUR GODFATHER OF ROCK, GOB BLESS!”. Layar naik, dan God Bless semakin leluasa menjajah panggung dilanjutkan dengan ”Musisi” dari masterpiece ”Cermin”. Saya bisa pastikan perasaan semua orang di Rolling Stone Live Venue di detik itu adalah tentang perasaan senang, haru, dan bangga yang meluap-luap melihat sejarah hidup musik rock Indonesia kembali hadir dengan semangat lama. Achmad Albar, Ian Antono, Donny Fattah, Abadi Soesman, dan Yaya Moektio adalah format (nyaris) klasik yang menghasilkan mahakarya "Cermin". Dan God Bless hadir dengan dandanan visual rocker yang menjadi khas mereka, lengkap dengan aksesoris rocker seperti sepatu boots, jaket kulit, hingga bandana ala hendrix yang dikenakan Ian Antono. Sungguh ini suatu pengalaman langka menyaksikan rocker-rocker gaek ini tak mengenal umur lagi, performa mereka sungguh meyakinkan bahwa nama besar mereka bukanlah sekedar mitos belaka. Ahmad Albar menyapa penonton dengan gagah, menceritakan perjalanan genap 36 tahun perjalanan God Bless, rilis album baru dalam waktu dekat, dan melanjutkan perjalanan ke era "Semut Hitam" dengan anthem "Kehidupan". Karaoke massal kembali bergerumuh, satu nomor klasik ini (lagi dan lagi) dibawakan dengan begitu mantap oleh ke-lima rocker ini. Penampilan God Bless kali itu benar-benar adalah bukti totalitas band ’panggung’ yang hebat. Terdengar dan terlihat begitu progressive, namun juga sangat rock ’n’ roll. Salah satu alumni God Bless yang memperkuat formasi di album ”Raksasa” dan ”Apa Khabar?”, Eet Sjahranie, yang kebetulan sebelumnya membuka malam propaganda ini dengan Edane, pun hadir ke atas panggung. Alhasil, reuni tak terelakkan, nomor pamungkas di album ”Apa Khabar?”, ”Srigala Jalanan”, dibawakan dengan duet gitar maut oleh dua dewa-gitar Indonesia, Ian Antono dan Eet Sjahranie.

Konser ini ditutup dengan menghadirkan bintang tamu kembali, kali ini adalah duo gitar dari band rock nomor dua terhebat di Indonesia setelah God Bless, yaitu Slank. Giliran Ridho Hafidz dan Abdee Negara yang memperusuh konspirasi dewa gitar setelah Eet turun panggung. Tak lama, riff signature ”Semut Hitam” menandakan dimulainya repertoar terkahir dari setlist luar biasa rangkuman 36 tahun perjalanan legenda rock hidup Indonesia, God Bless, di RS Live Venue.

Animo massa ketika Ahmad Albar dan kawan-kawan manggung sungguh suatu ekspresi dan emosi yang tak terlukiskan dengan kata-kata. Terdengar mungkin sedikit berlebihan, tapi itu lah kenyataannya. Sempat terlihat ditengah kerumuman massa, di depan panggung, mas Iman Fattah (Zeke and The Popo) dan mas Cholil (Efek Rumah Kaca) begitu bersemangat bernyanyi membaur di tengah kerumunan massa. Saya jujur tak pernah datang dan melihat konser dengan crowd dengan animo seperti ini, sungguh passion yang sangat luar biasa untuk menonton langsung band rock tertua di Indonesia yang telah lama dirindu-rindukan. Terlepas dari kesalahan sedikit soal teknis sound, keyboard solo Abadi Soesman yang mendem di beberapa part lagu, Yaya Muektio yang bermain terlalu ’liar’ (improvisasi sedikit berlebihan di nomor-nomor klasik), Rolling Stone Private Party 2009 : Rock ’n’ Roll Propaganda malam itu ditutup dengan sangat mewah dan megah oleh God Bless.

Set List God Bless (gak nyatet sih, jadi ini seingat di kepala ^^) :
Huma di Atas Bukit – She Passed Away (Medley)
Musisi
Kehidupan
Rumah Kita
Menjilat Matahari
Srigala Jalanan (with Eet Sjahranie)
N.A.T.O
Lagu baru dengan judul kalo gak salah - Rock n Roll Musik
Semut Hitam (with Ridho dan Abdee – Slank)

Di mata saya sebagai bukan-generasi-God Bless (saya adalah generasi yang dibesarkan ketika Padi, Sheila on 7, Dewa era Once, dan oya, Jamrud era Ningrat berkuasa di remaja-remaja seusia saya kala waktu dulu), mendengar dan melihat mereka langsung saat kemarin adalah bukti kepercayaan dan keyakinan saya bahwa God Bless adalah benar band rock legendaris, dan tak belebihan untuk disebut band rock terhebat sepanjang masa di Indonesia Beruntung saya bukan seperti generasi-bukan-God Bless biasa yang sok tahu akan God Bless adalah legenda, tapi hanya tahu lagu ”Rumah Kita” (gara-gara lagu ini sempat populer di anak muda generasi saya, dinyanyikan oleh banyak penyanyi populer saat itu untuk album tribute to Ian Antono), saya tak kalah lantang bersuara berkaraoke massal bersama dengan teman-teman (tua) generasi God Bless di nomor-nomor populer seperti ”Semut Hitam”, ”Kehidupan”, ”Huma di Atas Bukit”, dll malam kemarin di RS Live Venue. Sudah tidak asing lagi di telinga saya sejak kecil karena saya dulu sempat meminjam kaset teman yang saya ingat judulnya adalah ”18 Greatest Hits of God Bless”. Untunglah. Haha.

God Bless adalah generasi tua yang keren. Yang namanya ’Nasehat-nasehat’ dan ’petuah-petuah’ lama dari orang tua dari dulu tak akan pernah terdengar begitu menarik untuk dindahkan bagi generasi muda, tapi tidak ketika God Bless yang berbicara. Tidak pernah saya lihat ’orang tua’ Indonesia terlihat begitu cool seperti God Bless. Oya, ternyata dulu waktu Ayah saya nikahan tahun 70an, saya ingat liat di fotonya, Ayah saya berfoto dengan rambut kribo mekar persis Ahmad Albar. Ayah saya sangat cool berarti!. Haha.

Terkahir, saya ingat selepas acara selesai, saya sempat berpapasan kembali dengan mas Cholil ERK, lalu beliau berkata...

-”Luar Biasa Ya Barusan?”-

Hidup God Bless!

Hidup Rolling Stone indonesia!

\m/ !


The Sandro Rayhansyah Live Report : Pameran Festival Seni dan Budaya Prancis, Galeri Nasional Indonesia

-Live Report, Pameran Festival Seni dan Budaya Prancis @ Galeri Nasional Indonesia, 5 Mei 2009-


-Efek Perut Lapar- dan -Efek Senang Sekali-

oke, ini adalah cerita kecil perjalanan awal dari minggu suci saya. Haha. Karena minggu ini akan diisi dengan gigs-gigs menarik yang tak akan saya lewatkan seumur hidup. Efek Rumah Kaca, God Bless, Changcuters, CUTS, hingga Dead Squad adalah alasan yang tepat untuk me-label minggu ini dengan nama minggu suci. Saya rasa ini tak berlebihan sama sekali, teman. haha.

Khotbah pertama jatuh di hari Selasa tanggal 5 bertempat di Galeri Nasional Indonesia, deket-deket Gambir gitu deh. Sebelum menanti waktu keberangkatan menuju tempat tujuan, hari itu FEUI dilanda dilema Regol SP (lagi dan lagi). Diawali dengan tidak mengikuti kelas asistensi AK2 yang dikarenakan oleh prinsip oppurtunity cost. Daripada saya masuk kelas bingung tidak mengerti apapun yang diajar-kan oleh asdos yang telah mengajar seakan berlari begitu jauh, sedang saya baru mulai mencari buku AK saya yang hilang ntah kemana semenjak abis UTS, membuat saya berpikir lebih baik saya belajar merangkak sendiri dulu memmpelajari pelajaran yang tertinggal jauh. Namun sayang prinsip ini tidak berjalan dengan baik, sebagai trade-offnya saya malah kerjabakti membersihkan kantor AIESEC. haha tak apa lah. Lanjut dengan kepanikan regol bodoh ditemani Gonjo dengan bolak balik FE-Rektorat-Fe hingga akhirnya pemberhentian terakhir di fakultas psikologi yang menjawab semua permasalah Regol. haha sudahlah, Regol bukan jaminan A pastinya.

Oke enough dengan semua ini, toh tak ada manfaatnya juga saya bercerita panjang lebar tentang kejadian hari itu, selaen kunjungan saya ke GNI malam itu untuk membagi pengalaman saya di Pameran Kuliner dan apa yang sebenernya saya sendiri tak begitu mengerti judulnya apa haha. Pertama, saya cukup kaget ternyata pengunjung yang hadir malam itu cukup rame. saya rasa memang cukup banyak orang yang tertarik denga tipikal pameran seni seperti ini sehingga membuat malam ini cukup sesak audiens. Di halaman luar diisi dengan pameran kuliner khas prancis (mungkin, hehe) yang bisa dinikmati dengan gratis. Sialnya saya datang disaat disetiap meja yang tertinggal adalah sisa-sisa plastik makanan orang. Ditambah lagi dengan antrian panjang softdrink (dan oya ada cocktail juga) membuat saya yang sangat haus dan lapar semakin lesu lahir batin. tapi demi Efek Rumah Kaca, tak apalah haha.

Firasat buruk terusik ketika saya lihat di depan tenda ada panggung mini, bahkan mini sekali menurut saya hanya sekitar 2x4 meter mungkin kalo diukur-ukur. Saya membayangkan jangan-jangan Efek Rumah Kaca bakal manggung disini nih, persis seperti panggung kondangan di RT-RT, bahkan lebih minim. Firasat ini makin menjadi-jadi ketika melihat Gibson-nya Cholil sudah dipajang siap dimainkan diatas panggung. Merasa malas untuk melanjutkan firasat dan pikiran ini, saya lebih memilih untuk masuk ke gedung untuk melihat pameran yang lain. Hehe.

Terlihat ruangan luas yang berisi berbagai macam karya, dari mulai lukisan hingga kerajinan hingga suatu bentuk karya yang saya sendiri bingung untuk menyebutnya ini itu semua jenis apa ya haha. Saya bisa bilang karya-karya disini post-modern semua, bukan pameran-pameran lazim yang saya pernah lihat. Anda tak akan menemukan lukisan besar bergambarkan SBY dan Nyonya disini bersama keluarganya. Cukup menarik, sayang saya bukan seorang pemerhati seni seperti ini sehingga saya tak bisa berkomentar banyak. Ditambah dengan kebodohan tak membawa kamera, dan hape yang berkamera. Sayang sekali, momentum seperti ini tak terdokumentasi kan haha.

Tiba-tiba dari luar saya mendengar nyanyian. Sekejap kelima indra saya langsung merangsang sensor otak saya untuk berpikir "Ini Tubuhmu membiru..Tragis, Album Kamar Gelap,album kedua,track pertama, rilis 19 Desember 2008, Efek Rumah Kaca!". haha. Saya langsung keluar menyambut konser yang ternyata telah dimulai.

Ternyata dugaan saya benar, Efek Rumah Kaca manggung di stage kecil mirip dengan stage kondangan yang saya deskripkan di atas, plus minim sound system, oya dan plus noise di speaker kanan panggung yang mengganggu. Tapi sudahlah, kapan lagi saya melihat konser ERK jarak dekat gini, begitu intim toh. Haha. Terlihat beberapa groupis ERK yang duduk menikmati selama konser berlangsung. Sepanjang konser saya bertemu dengan beberapa orang-orang yang saya kenal dari MINUS and Clinic 2009 (event seminar-clinic music terhebat abad ini) , saya sempat menyapa mas Bin Harlan (manajer ERK), Indra Ameng (manajer White Shoes), dan mas Iman Fattah (Zeke and The Popo) -yang saya tak sempat sapa karna beliau terlihat begitu sibuk dengan kameranya, hehe-

Di awal Cholil sempet berkata " ini akan jadi konser yang lumayan panjang", suatu pertanda yang bagus bagi saya yang baru pertama kali melihat mereka main live dengan jarak begitu dekat seperti ini. Repertoar-repertoar dari album pertama dan terbaru dimainkan dengan begitu baik oleh mas Cholil,dkk. Mulai "Banyak Asap di Sana", "Kau dan Aku Menuju Ruang Hampa", "Menjadi Indonesia", hingga kejadian lucu di "Laki-Laki Pemalu". Cholil berkata "Sok-sok pake kord-kord aneh jadinya salah-salah" yang namun tetap diberi tepuk-tangan meriah oleh semua penonton yang hadir. Lalu lagu "Desember" yang berhasil menimbulkan koor nyanyian kecil para audiens, dan ditutup dengan medley klimaks "Balerina"-"Mosi Tidak Percaya". Sedikit notes untuk "Mosi Tidak Percaya", lagu ini dibawakan dengan luar biasa oleh ERK. Cholil berteriak "Kalau kami tak percaya, lantas kau mau apa?" dengan lantang, diringi oleh dentuman bass Adrian, dan hentakan drum Akbar yang semakin melupakan kodrat bahwa statement awal mereka adalah sebagai band Pop. Singkat kata, "Mosi Tidak Percaya" menutup konser dengan mantap.

Berdiri kurang lebih 50 menit, dengan kondisi keadaan belum makan dari siang, adalah kondisi fatal yang menyerang begitu konser selesai. Tapi semua ini jika kita menggunakan konsep ekonomi yang saya jabarkan di atas, tak ada apa-apanya dengan konser intim bersama ERK, dan kaos ERK ekslusif yang sudah lama saya cari-cari.

Oya, spesial thanks untuk bro haris, dan bro manda yang ikut serta bersama-sama menikmati pameran dan gigs ini! dan juga buat pinjaman uangnya tentunya! haha.

\m/ !




The Sandro Rayhansyah Review : Dir en Grey - Uroboros

Artist : Dir en Grey
Album : Uroboros
Year : 2008
Socre : 6,5 of 10





Flashback ke era-era awal Dir en Grey, mereka adalah satu dari ribuan band anak muda Jepang yang merupakan korban trend make up visual kei dengan musik j-rock yang menyerupai band-band rock/metal bermake up tebal idola anak muda pada saat itu, sebut saja X-Japan hingga Luna Sea. Seiring dengan kedewasaan mereka, Dir en Grey sekarang menjelma menjadi band tanpa dandanan bedak norak dengan kostum dark plus evolusi musik mereka dari tipikal J-rock band menjadi band rock/metal yang terpengaruh berat oleh sound death/black metal, heavy, hingga gothic.

"Uroboros" adalah sambungan dari rentetan rantai album 'evolusi' musik mereka yang dimulai dari EP "Six Ugly" hingga "Marrow of Bone" (album sebelum Uroboros). "Uroboros" bisa dibilang adalah antithesis dari ""Marrow of Bone" yang sarat amarah, kebencian, hingga kehancuran baik dari lirik hingga tekstur lagu. "Di "Uroboros" Dir en grey sedikit 'cooling down', dalam arti kata memberi ruang improvisasi dan nuansa yang lebih luas lagi dari sekedar album sarat dark, madness, dan destruction. Album ini masih didominasi dengan metallic sound khas Dir en Grey, campuran kawin silang Korn, Slipknot, hingga Marylin Manson, tapi dengan sentuhan J-pop influence layaknya era awal musikalitas Dir en grey. Membuat "Uroboros" sedikit bisa dinyanyikan dibandingkan "Marrow of Bone". Vokalis sekaligus frontman Kyo, adalah seorang vokalis metal yang bisa bernyanyi dengan growl, scream, hingga melodic dengan baik. Suaranya adalah instrumen musik yang tak kalah berbahaya dengan cabikan gitar duet maut Kaoru dan Die. Simak single andalan "Dozing Green" yang mencapture dengan baik karya metal yang heavy/trash sekaligus melodic ala Dir en Grey. Beberapa ballada metal yang lama tak dijumpai direpertour Dir en Grey dapat disimak dinomor "Glass Skin", Inconvenient Ideal", ataupun "Ware, yam Tote". Overall "Uroboros" adalah album metal yang terdengar emotionally deep walaupun mungkin anda tidak mengerti lirik-lirik jepang yang diteriakkan Kyo (yang bahkan dalam bahasa inggris pun sulit untuk dimengerti). Album yang cukup ringan untuk mendalami ke-kompleksitas-an dari metal ala jepang yang ke-barat-barat-an dari Dir en Grey. Tidak mengherankan, Dir en Grey bisa disebut sebagai salah satu band metal dari asia yang paling disebut di scene metal lokal amerika ataupun dieropa. Hidup Metalhead!

The Sandro Rayhansyah Review : The Killers - Day & Age

Artist : The Killers
Album : Day & Age
Year : 2008
Socre : 8 of 10




Pejuang new wave asal Vegas kembali dengan album ‘refresh’ bertajuk “Day & Age”. Album ini merupakan album studio ke-tiga The Killers setelah kemarin juga sempat merilis album kompilasi b-sides “Sawdust” beberapa bulan terkahir. The Killers bisa dibilang salah satu dari sedikit band rock amerika dengan cita rasa ‘brit’. Memulai debut dengan album “Hot Fuss” yang sangat ‘brit’ dengan atmofir new wave yang kental yang kebetulan sukses secara komersil penjualan, hingga sempat menjelma 180 derajat menjadi “Bruce Springsteen” dengan arena rock yang sangat amerika di "Sams Town". Untuk di album terbaru kali ini, Brandon flowers (Vokalis) dkk hadir dengan kembali ke gaya akar musik mereka, yaitu new wave. “Human” dan “Spaceman” adalah dua single utama mereka yang merepresentasikan gambaran keseluruhan “Day & Age” dengan baik. Simak juga variasi sound “Day & Age” di “I Can’t Stay” yang bernuansa bossanova, “Joy Ride” yang ‘disko’, hingga ballad mendayu penutup “Goodnight, Travel Well”. The Killers adalah bukti band yang berhasil mencuri musikalitas New Order, Duran Duran, hingga The Cure dengan baik tanpa menjadi plagiat murahan. “Day & Age” berhasil menterjemahkan gaya bermusik synth rock 80’an ala new wave yang tidak monoton dan variatif.

The Sandro Rayhansyah Review : Oasis - Dig Out Your Soul

Artist : Oasis
Album : Dig Out Your Soul
Year : 2008
Socre : 8,5 of 10

Oasis adalah salah satu band rock populer asal UK dengan hit-hit nomor satu seperti “Don’t Look Back In Anger”, “Wonderwall”, hingga “Rock n Roll Star”. “Dig Out Your Soul” (selanjutnya disebut DOYS) adalah album terbaru mereka, sekaligus bukti ke-eksistensian band yang sudah berkarir 15 tahun lebih di industri musik dunia. DOYS menjelma menjadi sekuel yang sempurna dari album “Don’t Believe The Truth” (Album studio Oasis sebelum DOYS yang dirilis tahun 2005 kemarin). DOYS berformula rock solid yang psychedelic tanpa kehilangan esensi “catchy pop” khas-nya Oasis. Jika dianalogikan, sekarang Oasis layaknya The Beatles di era mid-end seperti pada album “Rubber Soul” ataupun “Revolver”. Mereka tidak lagi di era “What’s The Story Morning Glory” ataupun “Definitely Maybe” yang membawakan lagu pop rock tipikal yang sejenis. DOYS bisa dibilang album yang ‘heavy’ untuk ukuran Oasis. Single utama mereka “Shock Of The Light”ning” adalah satu nomor turunan “pop” The Beatles dan campuran ke-agresif-an rock ala The Who. “To Be Where There’s Life”, “Soldiers On”, dan “Nature Of Reality” adalah pelengkap bukti ‘reformasi’ Oasis dalam musikalitas, aransemen, dan pengaruh psychedelic 60’an. Adapun “I’m Outta Time” merupakan salah satu lagu yang bisa dibilang “ paling” Oasis di album DOYS. Ber-format mellow, ballad-pop mendayu khas Oasis di era-era awal. Overall, DOYS sukses berat me-refresh stagnansi kreasi musikal Oasis di era “Be Here Now” (1997) hingga “Heathen Chemistry” (2002). Dengan menjadi album paling revolutionary, paling eksperimental, tak salah jika DOYS bisa diklaim sebagai salah satu album terkuat Oasis sepanjang dekade ini. Hail Gallagher Brothers!





The Sandro Rayhansyah Review

Welcome to The Sandro Rayhansyah Journal



Setelah sekian lama saya menulis apapun entah itu dalam bentuk artikel musik, review, drama kehidupan pribadi, dan apapun itu, akhirnya saya sadar tentang betapa pentingnya dokumentasi dan arsip. Jika saya men-arsip-kan ataupun men-dokumentasi-kan semua karya-karya tulisan saya diatas sejak saya dulu masih giat-giat-nya nulis mungkin blog ini telah mengantarkan saya pada kontrak ekslusif sebagai freelance rock editor di majalah-majalah musik berkelas, sebut saja Rolling Stone. haha. Belajar dengan pengamalaman ini, oleh karena itu saya dengan bangga meresmikan dan mempersembahkan Blog pribadi saya, yang konon akan diisi dengan hal-hal berbau musik, game, dan tentang apapun yang menurut saya menarik untuk saya sajikan di blog ini.

Sekian dengan kata pengatar yang akan selalu terdengar dengan klise dan membosankan bagi anda, dengan bangga blog ini saya resmikan.



Sedikit pesan dari Penulis : Kata-kata, kalimat, semua adalah rektorika yang tidak bisa merepresentasikan sesuatu dengan harfiah apa adanya. Semua ini hanya tentang interprestasi dan bagaimana cara menyikapi. Blog ini adalah tempat penulis menyuarakan opininya.





Deskripsi Singkat Tentang Penulis :
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tingkat 3. Hobi berpetualang di dimensi 3D bersama konsol-konsol video game kesayangannya, dan mendengarkan khotbah spiritual melalui medium bernama musik melalui ipod dan speaker kecil kesayangannya. Jimi Hendrix, John Lennon, Jimmy Page, Bob Dylan, dll adalah contoh orang-orang yang dia percaya lahir-batin.