Rabu, 13 Januari 2010

The Sandro Rayhansyah : 10 Album Terbaik Indonesia 2009

10 Album Terbaik Indonesia 2009

1. The S.I.G.I.T – Hertz Dyslexia

Hertz Dyslexia bukanlah sebuah album full LP, bahkan hanya sebuah EP. Tetapi album ini mempunyai daya magnet luar biasa, hasil eksperimen 4 armada rock terbaik Indonesia saat ini ternyata tanpa disangka begitu memikat. Hanya cukup 7 amunisi bagi The S.I.G.I.T untuk bersenang-senang di album yang mereka bikin dengan ‘setengah hati’ –album ini nggak dianggap sebagai album studio ke-2, hanya album ke-1,5 sebagai jembatan menuju album ke-2, dan mereka berani bermain di luar pakem yang telah berjasa mengangkat nama mereka sebagai salah satu band rock terpanas 2009. Mereka mengurangi intensitas refrain catchy yang penuh hook singalong ataupun riff-riff yang mengena di kepala dengan mudah, dan sebagai substitusi mereka mengimbuhkan solo gitar orgasm yang panjang di “Money Making”, mengutak-atik efek dengan aroma psikedelik di “Midnight Mosque Song” hingga mengambil pengaruh stoner-hard rock yang keras dan cepat di “The Party”. Hertz Dyslexia adalah ironi paling pahit di tahun 2009 : album terbaik lokal yang bukan diisi oleh hits-hits, namua ternyata terdiri dari materi-materi B-sides yang disempurnakan. Pujian dan pujaan terhadap band rock satu ini nggak akan pernah habis, mereka berhak mendapatkan status sebagai yang terbaik di antara yang terbaik tahun ini.

2. Tika & The Dissidents – The Headless Songstress

Predikat Diva sudah berada dalam di titik terendah dalam konteks industri musik Indonesia di beberapa tahun belakangan. Terlebih ketika nama Diva dijadikan nama sekelompok musik ibu-ibu yang memakai glitter dan bergaun mewah di 3 Diva –yang secara nggak sehat mereduksi pengertian Diva yang diserap oleh jutaan masyarakat musik Indonesia, dan Melly Goeslaw yang begitu giatnya memproduseri BBB hingga menyanyikan “Glow”, sejak itu saya nggak percaya lagi dengan yang namanya musisi perempuan. Tetapi Tika bak Ibu Kartini yang mengangkat kembali derajat perempuan dalam dialog musikal yang sudah sedemikian terpuruknya. Bersama The Dissidents dia menghasilkan album paling futuristik sepanjang tahun ini. Hampir semua genre populer disambangi oleh Tika & The Dissidents. Ada pengaruh eksperimental rock di “Mayday”, folk-pop di “Claustrophobia”, big-band swing di “20 Hours”, avant-garde yang berpadu dengan unsur klasikal di “Tentang Petang” hingga segenap jazz, blues dan pengaruh-pengaruh musik eropa-amerika di tahun ’30-an. Dan dia bernyanyi tentang perlawanan terhadap keseragaman, lalu bersorak akan perjuangan kaum buruh dan kaum gay sebagai perlambangan minoritas. Album yang nggak akan tertandingi oleh Diva manapun yang terbuai oleh kehidupan glamour dan hanya dapat berbangga pada kesuksesan masa lalu.

3. Dead Squad – Horror Vision

Personil-personil band-band metal terbaik Ibukota berkumpul membaurkan diri mengikhrarkan konspirasi metal terganas yang pernah ada di sejarah musik rock/metal Tanah Air. Horror Vision adalah debut EP dari personil-personil Tengkorak, Siksakubur, Stepforward, Netral hingga Andra & The Backbone. Mereka menyebutnya Technical Death Metal yang memang dibuktikan dengan skill akan kecepatan dan presisi teknik bermain yang berkaliber tingkat tinggi. 8 nomor death metal menggebu-gebu bagai Sepultura era Max Cavalera yang berbagi bunyi dengan Lamb of God ataupun As I Lay Dying dengan kecepatan double pedal drum 100km/jam yang mendekati hakikat grindcore. “Hiperbola Dogma Monoteis”, “Pasukan Mati”, “Sermon of Deception” hingga “Horror Vision” akan membakar panas indera pendengar Anda. Horror Vision mutlak adalah rilisan metal terbaik tahun ini!

4. Monkey To Millionaire – Lantai Merah

Trio lulusan LA Lights Indiefest ini ternyata menghasilkan album yang sangat cerdas. Atmosfer Lantai Merah adalah kejayaan gerakan alternatif/indie rock tahun ’90-’00-an dengan mazhab yang mengambil kiblat yang lebih ke arah brit. Rumus andalan mereka adalah indie-rock minimalis penuh distorsi gitar dengan kadar seperlunya, diramu dengan lirik campuran indonesia-inggris berkelas, nggak asal bahasa inggris supaya terdengar cool, dan kebetulan kualitas lirik Indonesia mereka yang mampu menyaingi departemen lirik Efek Rumah Kaca sekalipun, sebagaimana seperti di “Replika” ataupun “Merah”. Nomor-nomor lain di Lantai Merah diisi oleh penggunaan sajak yang apik di setiap bait liriknya dengan pengaruh musikalitas yang terdengar seperti Interpol campur Weezer yang bervokalis-kan Julian Casablancas (The Strokes) versi replika kw1.

5. Anda – In Medio

Si pelantun “Tentang Cinta”, Anda, kembali, tapi jangan harap dia akan menyanyikan “Tentang Cinta” versi lain di album solo debutnya. Mantan gitaris Bunga ini ternyata mengeksplor sisi idealis bermusiknya melalui In Medio, menjadikan album ini menjadi terlalu berbobot untuk jadi album soundtrack film cinta remaja SMA. Dan Anda menepis segala stigma dia yang dulu lebih dikenal sebagai pelantun lagu “Tentang Cinta” yang menjadi soundtrack untuk film Ada Apa Dengan Cinta (2000). Dibuka dengan “Dalam Suatu Masa” yang indah dan damai dibalut dengan pop-akustik, ”Psychedelia” yang menghanyutkan dengan pengaruh rock psikedelik sebagaimana yang tertera di judul lagunya, dan “Biru” yang merupakan komposisi terkuat di In Medio dengan pengaruh hybrid antara pop, rock & blues yang membius. Penggunaan lirik cinta yang secara tema berada di luar umum, dan penggunaan diksi kata dengan analogi yang berkelas seperti (Kulihat dirimu menari/Cintamu lalui nafas Tuhan) ataupun (Dia mengalir dalam darahku/Dia bayangan atas nyawaku/Biru, biarlah dua menjadi satu), agaknya adalah bukti yang kuat bahwa In Medio adalah debut yang mengesankan dari seorang Anda.

6. The Upstairs – Magnet!Magnet!Magnet!

Pahlawan new wave Ibukota kembali dengan magnet yang mempunyai daya tarik yang tak kalah menarik dari rilisan-rilisan sebelumnya, yang sekaligus menandakan kembalinya mereka ke gerakan independen–walau debut major mereka sebenarnya juga nggak menunjukkan adanya indikasi kompromi dari musikalitas dan lirik mereka. Masih pada formula yang sama, Magnet! masih seputar new wave yang merempet pada attitute punk yang kental dengan suara parau Jimi Multhazam yang provokatif sepeti pada ”Kami Datang Untuk Musik”, ”Kunobatkan Jadi Fantasi”, ”Agar Kita Semua Senang” hingga ”Ekspektasi Nol”. Namun kali ini mereka memberi ruang lebih untuk vokalis perempuan mereka, Dian Mariana, untuk mengimbangi teriakan jimi melalui nyanyian yang lebih tenang dan sangat memukau seperti pada ”Percakapan” ataupun di ”Di Antara Haluan” yang menjadi sangat melodius sekaligus mengiris di saat yang bersamaan. Setidaknya menjadikan The Upstairs terdengar lebih ’bernyanyi’ daripada album-album sebelumnya.

7. The Changcuters – Misteri Kalajengking Hitam

Rock n’ roll-ers paling fenomenal asal Bandung satu ini memang band yang sangat disenangi sekaligus dibenci banyak orang. Setelah tampil dalam berbagai iklan produk mulai dari provider seluler hingga minuman anak-anak, sepertinya The Changcuters menjadikan album studio mereka sebagai satu-satunya pembuktian identitas mereka yang sebenarnya. Misteri Kalajengking Hitam, yang bagai judul dongeng sebelum tidur anak-anak ini justru terdengar sebaliknya, terdengar dewasa untuk ukuran The Changcuters. Lewat album ini mereka melakukan reformasi (belum pada tahap evolusi) terhadap fondasi dasar garage rock ala The Stones mereka sebelumnya, walaupun secara lirik mereka masih tetap jenaka adanya. Secara visual mereka telah mengubah penampilan layaknya The Horrors, dan secara musikalitas pengaruh The Horrors pun juga mengambil andil besar di Misteri Kalajengking Hitam. “Main Serong”, “Mr. Portal” dan “Remaja Masa Kini” terdengar sedikit kelam dan gelap dengan pengaruh art-rock dan riff gitar ala rock revivalist macam The Strokes ataupun Interpol. Misteri Kalajengking Hitam adalah pendewasaan dari The Changcuters, walau mungkin masih bersifat kontemporer. The Changcuters masih mengajarkan pengertian rock n’ roll ala mereka yang selalu bersenang-senang dan asoy geboy.

8. Gribs – Gondrong Kribo Bersaudara

Gribs adalah sekelompok anak muda yang berani tampil dengan rambut gondrong kribo bak Motley Crue ataupun Guns N Roses, beratribut celana kulit ketat, lengkap dengan jaket hitam ataupun sampai yang bermotif macan tutul sekalipun. Dipersatukan atas tali persaudaraan, kecintaan yang sejati terhadap musik rock, dan fashion glam rock/hair metal ’80-an, Gribs (Gondrong Kribo Bersaudara) rela menjual diri mereka atas nama rock. Keseluruhan nomor-nomor di debut mereka ini adalah sensasi kejayaan musik hard rock ’80-an. Ketika fondasi hard rock Van Halen terpengaruh panjangnya rambut dan keglamoran hair metal ala Motley Crue hingga Bon Jovi, namun dengan nuansa Indonesia layaknya God Bless di era Semut Hitam minus Yockie Suryoprayogo, dengan sedikit aksen metal agresif layaknya Roxx di Black Album. Ada "Rocker" yang menjadi jelmaan "Rock Bergema" versi abad terkini, "Ketika" yang berformula ballad yang menyaingi keagungan ballada metal ala Loudness ataupun X-Japan, dan ada juga anthem penyembahan rock sebagai suatu kepercayaan pada "Rock Bersatu" yang mengingatkan pada power metal ’80-an ala Iron Maiden. Sisanya? nomor-nomor rock di album debut ini masih mengingatkan kita pada zaman peradaban rock yang liar (dengan rambut yang liar juga tentunya). Benar-benar suatu persembahan rock yang murni tanpa basa basi.

9. Gigi – Gigi

Veteran pop ini masih megang di umur yang nggak lagi tua. Self-titled ini mengembalikan aura Gigi yang telah lama nggak kelihatan : muda (walaupun umur 40 tahun ke atas), luwes dan enerjik. “Ya..Ya..Ya..” sontak meroket dan bersaing dengan hits-hits band-band pesaing pendatang baru di wilayah pop/rock mainstream. Armand Maulana pun memanfaatkan trend facebook lewat “My Facebook” yang dengan mudah diterima banyak orang dan merajai berbagai chart radio di Indonesia. Gigi masih sangat ‘menggigit’ di 15 tahun lebih eksistensinya di belantika musik Tanah Air.

10/. Endah N’ Rhesa – Nowhere To Go

Akhirnya ada juga artis pop lokal yang nggak terjebak dalam stagnansi sebagian musik pop Indonesia yang didominasi oleh pop-pop jazzy yang semakin hari semakin monoton. Walau hanya berformat satu gitar akustik dan satu bas elektrik, gaung duo indie ini bersaing ketat dengan band-band pop arus utama Indonesia sekarang ini. Mereka membawakan lirik bahasa inggris yang simple dan nggak berbelit-belit tentang cinta yang hebatnya nggak terdengar menggelikan seperti “When You Love Someone” ataupun “ “. Karya-karya mereka pun secara musikalitas sangat cheesy dan easy listening –namun bukan berarti jelek. Berpijak pada basic folk-pop, aksen blues dan sedikit jazz benar-benar menjadikan rilisan ini salah satu album pop tersegar di antara banyak rilisan pop ke-jazz-jazz-an yang kian seragam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar