Rabu, 13 Januari 2010

The Sandro Rayhansyah : 10 Album Terbaik Internasional 2009

10 Album Terbaik Internasional 2009


1. U2 – No Line On Horizon

Empati dan simpati terhadap kenyataan dunia akan perang, kedamaian dan cinta diemulsikan dengan fasih melalui medium kejayaan stadium-rock U2 lewat No Line On Horizon. Tanpa terkecuali semua lagu di album ini berpotensi menjadi hits yang akan selalu berkumandang kencang di setiap sudut barisan penonton yang selalu mencapai angka puluh-ribuan dalam setiap konser mereka. Inilah masterpiece klasik dari salah satu band rock terbesar dan terbaik sepanjang masa yang masih hidup dan gemar untuk tur keliling dunia setelah Rolling Stones. Sepanjang tahun 2009 agenda U2 adalah menebar virus perdamaian melalui tur terbesar yang pernah ada dalam sejarah musik populer dunia.

2. Green Day – 21st Century Breakdown

Jika American Idiot berbicara tentang segala protes dan perlawanan terhadap betapa kelam dan kejamnya rezim Bush kala itu, 21st Century Breakdown adalah sekuel sempurna rock-opera Greenday yang melihat sisi lain dalam segala bentuk keoptimisan era baru Amerika versi Obama dalam harapan, mimpi, chaos, kecewa, dan kepasrahan sisa-sisa rongsokan pasca-era Bush. Green Day mengalami fase penyempurnaan musikalitas mereka yang merupakan hasil hybrid punk-rock khas mereka dengan elemen-elemen classic rock hasil experimen di American Idiot. 21st Century Breakdown merupakan buah pemikiran mantan bocah punk yang berbicara lantang tentang isu nasionalisme amerika dalam pendekatan yang paling realistis.

3. Pearl Jam – Backspacer

Eddie Vedder dkk kembali membuktikan bahwa energi grunge lama khas Pearl Jam di awal karir masih fasih mereka mainkan. Setelah rocker-rocker ini berhasil tersenyum lebar ketika rezim Bush turun dan Eddie Vedder kembali ke sosok lama yang gondrong dan berpenampilan urakkan, Backspacer menjadi karya mereka yang paling sederhana baik secara musikalitas dan lirik. Tak butuh banyak embel bebunyian aneh sana-sini, Backspacer didominasi dengan nomor-nomor grunge cepat berdurasi 2-3 menit yang bersinergi dengan attitute punk-rock bar-bar ala The Who seperti "Gonna See My Friend", “Got Some”, hingga hit single "The Fixer". Ramuan Backspacer adalah obat rindu yang mujarab bagi kita semua yang merindukan Pearl Jam era ’gondrong’ semenjak Ten dirilis 18 tahun yang lalu.

4. Arctic Monkeys – Humbug

Empat muda harapan inggris ini nggak lagi mau disebut bocah-bocah ingusan baik yang gemar memainkan musik The Libertines ataupun The Strokes. Bersama Josh Homme (Queens Of The Stone Age), raja rock inggris ini memilih untuk menjadi lebih berat dan lebih dewasa. Sampai jumpa punk-rock yang meledak-ledak, kuartet ini seakan menghabiskan semalam suntuk di studio bersama LSD yang kemudian menghasilkan nomor-nomor yang ganjil dan beraura gelap seperti “My Propeller”, “Crying Lightning” ataupun “Dangerous Animals”. Hebatnya Humbug masih akan disukai banyak orang. Arctic Monkeys membuat jutaan remaja di seluruh dunia untuk berterimakasih kepada The Doors dan pengaruh psikotropika. Haha.

5. Mastodon – Crack The Skye

Inilah stoner-metal terbaik Amerika saat ini. Di Crack The Skye mereka memaksimalkan eksplorasi metal yang sedemikian mencengangkan dan mencoba mendekati batas-batas yang secara rasional sulit dimainkan oleh band heavy metal manapun di muka bumi. Riff-riff tebal ala Black Sabath dipadu oleh aransemen yang lebih rumit seperti di ”Oblivions”, ”Divinations” ataupun ”Crack The Skye”. Tatkala mereka pun lepas landas ke ranah progresif di ”The Czar” ataupun ”The Last Baron” yang berdurasi 10 menit lebih. Crack The Skye adalah karya metal terbaik tahun ini, dan kelak saya yakin akan menjadikan nama Mastodon sejajar dengan Pantera atau bahkan Metallica.

6. Yeah Yeah Yeahs – It’s Blitz!

Versi femme dari The Strokes, Yeah Yeah Yeahs, kali ini memadukan garage-punk dan segenap bebunyian synth, menjadikan It’s Blitz! sebagai karya paling eksperimental sekaligus salah satu yang terbaik dari trio asal New York ini. Karen O’ (vokal) masih bernyanyi dengan cara yang nggak lazim, sosoknya mungkin seperti Deborah Harry (Blondie), namun pada taraf yang lebih ekspresif dan terkadang autis. Dan sepertinya mereka sibuk membawa pengaruh synth pada tingkat yang dominan. Mulai dari “Zero”, “Soft Shock”, hingga “Heads Will Roll” seakan mentransformasikan kata ’garage’ yang melekat di nama mereka dengan imbuhan-imbuhan seperti ’disco’ ataupun ’dance’, walau benang merah It’s Blitz! masih di seputar post-rock/punk revivalist. Mungkin nggak ada lagi lagu tipikal ”Date With The Night” ataupun ”Rockers To Swallow” yang kasar dan terdengar raw yang menjadi ciri khas mereka selama ini, tetapi eksperimen mereka kali ini juga bukan suatu pertanda buruk, melainkan jauh sebaliknya.

7. Mars Volta – Octahedron

Setelah menghasilkan The Bedlam Of Goliath yang lebih ramah lingkungan dari rilisan-rilisan mereka sebelumnya, duo ini kembali ke akar progresif di Octahedron, tapi tidak dengan semangat yang liar seperti biasanya. Hampir seluruh nomor di album ini dominasi oleh mid-tempo dan aransemen yang bisa dibilang ‘menghanyutkan’, hanya “Cotopaxi” sepertinya yang mengingatkan kita pada pola alur musikal Mars Volta yang lama. Duo ini seakan memperlihatkan bahwa mereka sangat mencintai Led Zeppelin seperti pada “Since You’ve Been Wrong” yang terdengar sebagai modifikasi dari “Since I’ve Been Loving You”-nya Zep. “Teflon”, “Halo of Nembutals”, “Luciforms” dan lainnya bagai nomor-nomor yang disuntikkan steroid blues yang berasal dari planet mars. Octahedron, seperti halnya album-album Mars Volta lainnya, selalu sulit dimengerti tapi begitu sayang untuk dilewati. Satu kata : memabukkan.

8. Phoenix – Wolfgang Amadeus Phoenix

Phoenix berhasil meredefinisikan bahwa french-indie-rock ala mereka bukanlah sekedar prototype turunan post-indie-rock generasi ’00-an biasa. Memang ada pengaruh Strokes era Is This It dengan ritme beat yang danceful, namun dibalut dengan sentuhan synth yang manis di sepanjang lagu seperti pada “Lizztomania”, “Girlfriend” hingga “1901” sehingga terdengar menyegarkan. Embrio french rock yang mereka lahirkan adalah formula penyempurnaan dari indie-rock dengan pengaruh electro-beat yang akut. Dan itu adalah hal yang menyenangkan, Wolfgang… terdengar sangat nyaman di telinga.

9. Metallica – Death Magnetic

Raksasa heavy metal akhirnya kembali ke fitrahnya : Raksasa thrash metal. Rentetan Load, Reload dan St. Anger seakan menjadi dosa besar yang tak akan dengan mudah diampuni bagi seluruh metalhead di dunia jika saja Metallica nggak menebusnya dengan Death Magnetic ini. Bapak-bapak umur 40 tahun ke atas ini walau semakin tua mencoba bermain dengan cepat, bahkan sangat cepat seperti di era awal mereka. Solo gitar yang sepanjang-panjangnya dan gebukan double pedal drum bagai hantaman peluru benar-benar menghakimi telinga pendengar. Metallica mengembalikan thrash metal yang epik layaknya di era Master of Puppets melalui “My Apocalypse”, “Judas Kiss” hingga “The End of The Line”. Ada juga “The Day That Never Comes” yang mengingatkan kita pada keagungan “One”. Tak ada satupun lagu yang berdurasi di bawah 5 menit, menandakan ini adalah suatu pertanda baik yang selalu kita tunggu semenjak …And Justice For All 20 tahun yang lalu.

10. Them Crooked Vultures – Them Crooked Vultures

Inilah format sederhana dari supergrup terbaik tahun ini : 1 orang Zeppelin dan 2 orang penyembah Zeppelin. 1 orang Zeppelin yang dimaksud adalah seorang John Paul Jones, basis rock terbaik yang mengawali karir sebagai session player yang disegani di inggris sebelum akhirnya diajak Jimmi Page bergabung membentuk band yang kelak dinamai Led Zeppelin, band yang kemudian mendefinisikan apa yang disebut dengan heavy metal. Dan kehadiran 1 orang Zeppelin di Them Crooked Vultures ternyata sangat berpengaruh, Anda bagai mendengarkan Led Zeppelin di abad 21. “Elephants”, “Scumbag Blues”, dan “Bandoliers” terdengar seperti materi rekaman sisa Zeppelin yang tersisa terakhir bersama Bonzo—Dave Grohl (drum) benar-benar mencoba mendekati pengaruh permainan Bonzo/John Bonham. Bukan berarti 2 orang penyembah Zeppelin tersebut, Josh Homme (Queens of The Stone Age) dan Dave Grohl (Foo Fighters/Nirvana), nggak memberi pengaruh sedikitpun. Pada “Dead End Friends” ada sedikit pengaruh grunge Nirvana dan di “Gunman” ada aura Queens of The Stone Age yang gloomy dan dark. Setidaknya mereka menunjukkan bahwa mereka sangat menghormati Jones dan Zeppelin, dan Jones pun nggak segan untuk berbagi ide dengan 2 penyembah Zeppelin yang sepertinya secara kebetulan sangat klop. Harapan saya ini nggak sekedar proyek onani, saya yakin semua orang berharap akan kelanjutan cerita dari Them Crooked Vultures.


1 komentar: