Rabu, 13 Januari 2010

Digital Kills Musicians?



Digital Kills Musicians?


Teks : Sandro Rayhansyah



Kiamat Industri Musik Dunia?




Dewasa ini wajah industri musik dunia berubah total. Internet adalah biang keladi dari semua perubahan ini. Berkembangnya globalisasi belakangan ini yang dipacu oleh pertumbuhan teknologi yang berevolusi dengan sangat cepat telah membawa kita pada dunia yang tanpa batas. Arus informasi mengalir kemanapun, dimanapun, dan kesiapapun. Musik, dalam konteks industri dan sebagai komoditas, mengalir dengan arus yang sebanding dengan perkembangan teknologi yang semakin tidak mengenal batas ruang dan waktu. Tanpa disadari, satu dekade belakangan ini telah menjadi momen yang evolusional bagi industri musik dunia dan musik itu sendiri.


Medium musik pun berubah. Kemana-mana kita tidak perlu lagi untuk membawa Walkman hingga Discman sekalipun, sebagai substitusinya, handphone sehari-hari yang kita bawa pun sekarang telah berfungsi dengan sangat baik sebagai music player, dan bahkan sekarang ada iPod. Masyarakat semakin malas untuk datang ke toko CD, membeli fisik dari CD tersebut, kemudian harus mem-rip CD tersebut agar bisa diputar di handphone atau iPod Anda. Sampai jumpa CD dan kaset, selamat datang MP3.


Berdasarkan data statistik, di tahun 2008 penjualan album fisik turun sebesar 20% dari 450,5 juta ke angka 362,6 juta, sedangkan penjualan album digital naik dengan signifikan sebesar 32% mencapai angka 65,8 juta unit.


Tak heran jika Radiohead merilis album In Rainbows (2007) secara digital dan bahkan dengan tarif pay whatever amount you want dalam menyikapi fenomena ini. Sederet artis pun ikut meramaikan strategi ini seperti Nine Inch Nails hingga Coldplay, seakan-akan mereka turut ikut serta memperlihatkan keprihatinannya terhadap kondisi terkini industri musik dunia yang seakan melupakan pengalaman memegang album dalam bentuk fisik.


Dalam skena lokal beberapa tahun yang lalu, Dewa19, Padi, Sheilaon7 hingga Peterpan dengan perkasa mampu meraih penghargaan Platinum di angka jutaan kopi atas penjualan fisiknya. Sekarang? Artis-artis mainstream manapun hanya menyanggupi penjualan album di kisaran ratusan ribu, bahkan standar Platinum pun menurun dari waktu ke waktu. Hal ini mempertandakan sekaligus mempertanyakan sesuatu dilema yang tanpa ujung : akankah digitalisasi selalu berimplikasi positif? Apa kabar jika implikasinya adalah dengan maraknya sharing files dan sistem cut-copy-paste lagu secara ilegal (baca : pembajakan)?




Tak bisa dipungkiri, pembajakan di Indonesia semakin menjadi-jadi di satu dekade belakangan ini sebagai akibat dari penyalahgunaan medium digital yang semakin mencapai tingkat epidemik di seluruh penjuru dunia tanpa terkecuali. Semudah itu untuk mendapat lagu-lagu dari artis manapun tanpa sepersen pun mengeluarkan gocek untuk membeli CD/kaset dari si artis, dan semudah itu pula untuk melakukan file sharing terhadap lagu-lagu yang telah diunduh secara ilegal.


Menurut Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (Asiri), pada tahun 1997 angka penjualan album masih mencapai 90 juta keping, sementara di tahun 2008 hanya mencapai sekitar 11 juta keping. Industri musik lokal dalam suatu sisi terperosok. Pertanda telah terjadi perubahan pola yang fundamental dalam industri musik ini.



Selamat Datang Era Musik Digital!






Para pelaku industri musik dunia tidak tinggal diam menyikapi segala perubahan pola bisnis yang telah berubah secara mendasar ini. Dengan sigap mereka menyulap segenap ancaman ini menjadi secercah peluang yang ternyata menjadi embrio bisnis utama musik yang paling potensial di era internet ini. Bagi Anda yang membutuhkan transaksi yang cepat tanpa perlu menghabiskan ke toko CD/kaset terdekat, bagi Anda yang tidak membutuhkan CD/kaset fisik yang akan memenuhi rak lemari Anda, inilah jawabannya : online digital music store.


Anda dapat membeli koleksi album/lagu original artis favorit Anda dalam format MP3. Dan Anda mendapatkan dalam harga yang jauh lebih murah dari harga fisik CD/kaset aslinya namun dengan kualitas yang sama. Dan yang paling penting, semua ini legal.


Digitalisasi musik ternyata menjadi medium yang sebaliknya, sebagai momentum bangkitnya kembali menggeliatnya industri musik dunia.


Fenomena ini telah marak di luar negeri dengan kehadiran banyak online digital music store dalam format MP3, dimana untuk yang teratas kita mengenal nama seperti iTunes Music Store. Menurut Wikipedia, per Januari 2009 iTunes Music Store telah menjual lebih dari 6 triliun lagu dan menguasai lebih dari 70% pangsa pasar penjualan musik digital dunia. Tinggal mengisi account Anda melalui credit card atau voucher gift card, Anda dengan leluasa dapat mengeksplor katalog musik digital terlengkap di dunia yang bebas Anda pilih dan beli sesuai minat Anda. Sebuah dunia digital yang sangat menjanjikan untuk kebangkitan kembali industri musik dunia. Sayang sekali Indonesia belum ter-penetrasi dengan baik.


Euforia digital tersebut ternyata tak mendarat mulus dalam merubah pola kebiasaan masyarakat musik Indonesia. Kemudahan akses dan digitalisasi akan musik masih bermuara di ranah yang ilegal. Hadirnya Im:Port, sebagai salah satu (bahkan satu-satunya) portal penjualan musik digital di Indonesia, ternyata tidak sesuai dengan harapan. Hal ini didukung oleh katalog artis Im:Port yang sangat terbatas, dan sebaliknya, industri musik Indonesia lebih memilih untuk serius dalam menggarap lahan lain yang sepertinya jauh mendatangkan keuntungan, yaitu Ring Back Tone (RBT).






Beberapa tahun belakangan penjualan RBT malah jauh lebih besar dari penjualan album mana pun di Indonesia saat sekarang ini. Untuk per satu kali pengaktifan, RBT menguras gocek rupiah pengguna di kisaran Rp 5-10 ribu. Anda bisa bayangkan, untuk ukuran satu lagu, yang bahkan dalam durasi yang tidak penuh, berkualitas di bawah rata-rata, dan bahkan Anda sendiri tidak mendengar –melainkan untuk rekan Anda yang menghubungi nomor Anda, keuntungan per satu kali aktivasi RBT benar-benar menggiurkan. Artis-artis seperti Vagetoz, Samsons, Mbah Surip, Ungu, dan lainnya berhasil menjual RBT di angka lebih dari 1 juta aktivasi di saat penjualan album mereka semakin lesu. Dan penghasilan kotor yang mereka dapat bisa mencapai angka milyaran untuk setiap penjualan RBT-nya. Jauh lebih baik jualan RBT daripada jualan album. Sederhananya kita bisa berpikir seperti itu.


Namun RBT layaknya sebuah trend, cepat atau lambat akan ditinggalkan semua orang. Pada dasarnya RBT belum berbicara tentang solusi digitalisasi dan pembajakan, melainkan hanya suatu siasat industri dalam menyikapi 2 hal tersebut. Online digital music store sebenarnya adalah jawaban yang paling relevan dalam konteks industri musik Indonesia saat sekarang ini. Tinggal gimana industri bisa mem-package strategi yang jitu dan tepat sasaran untuk merubah pola konsumsi musik masyarakat musik Indonesia yang terlanjur ’bobrok’ seperti ini.


Solusi Nokia Untuk Industri Musik Dunia : Layanan Musik Nokia







Nokia, sebagai salah satu produsen handphone terkemuka di dunia, khususnya di Indonesia, ikut mencoba menawarkan solusi dalam bisnis musik digital ini. Nokia secara global merilis Nokia Music Store dan Royal Artist Club. Melalui software Ovi Musik/Ovi Player yang Nokia rilis, pengguna bisa memanfaatkan fitur music player di PC ala Nokia yang memiliki aksebilitas tinggi seperti dalam hal sync PC Anda dan handphone yang tidak seribet iPod dengan iTunes-nya. Program tersebut digunakan untuk mengakses Nokia Music Store yang memiliki fitur yang menjanjikan bagi masa depan industri musik Indonesia yang lebih baik. Nokia yang diklaim sebagai handphone sejuta umat di Indonesia, dalam arti kata akan mampu menawarkan solusi ini kepada sejuta umat di Indonesia yang memiliki Nokia dan mendengarkan musik. Secara kuantitas, program ini akan sangat menjanjikan jika diutilisasi dengan baik.





Nokia Music Store menawarkan program membership untuk Nokia Music Store melalui pembelian beberapa edisi handphone Nokia yang dikhususkan untuk musik, namanya Comes With The Music. Program membership ini menjanjikan 6 juta lagu lebih yang dapat Anda unduh di Nokia Music Store. Dan semua bisa Anda download dengan GRATIS. Katalognya pun tidak main-main, Nokia menjalin kerjasama dengan label-label terkemuka dunia mulai dari Universal hingga SonyBMG. Setelah selesai periode membership pun, Anda masih bisa menyimpan track yang telah Anda unduh dengan aman, dan Anda bisa melanjutkan transaksi pembelian musik layaknya online digital music store lainnya. Namun beruntung Nokia Music Store memiliki berbagai konten yang secara ekslusif hanya dimiliki Nokia. Sampai saat ini, akses ini masih terbatas di beberapa negara. Tak lama jika telah siap pakai di Indonesia, saya rasa orang akan berpikir dua kali untuk mengunduh lagu-lagu secara ilegal. Toh, Nokia menawarkan gratis, dan secara legalitas dijamin halal.





Ada juga Nokia : Now Playing yang menyediakan ragam video/album dari artis terkait dengan pilihan yang banyak. Termasuk video streaming yang dapat diakses dengan cepat dan gampang.





Nokia juga memiliki Royal Artist Club (RAC), dimana Anda dapat melihat blog-blog ekslusif dari banyak artis yang tergabung di RAC. Anda menjadi lebih dekat dengan artis-artis yang diidolakan dengan konten-konten yang selalu update dan tidak ditemukan dimana lagi selain di situs RAC. Nama-nama besar seperti Dragonforce, The Answer, Erykah Badu dan menyusul segenap nama-nama populer lainnya tentu akan menjadi alasan yang kuat akan kehadiran RAC ini. RAC akan membuat Anda dapat menyimak keseharian dari artis-artis besar idola Anda, dan para musisi pun dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk lebih dekat dengan para fansnya. Bayangkan nanti ketika sayap RAC telah berlabuh di Indonesia, jika musisi-musisi seperti Slank, Gigi, Naif dan lainnya bergabung di rooster RAC, Anda akan memiliki kesempatan untuk lebih mengenal si musisi tersebut dan mendapat informasi terkini langsung dari si musisi yang bersangkutan. PR besar bagi Nokia Indonesia untuk melengkapkan rooster artisnya dengan kuantitas yang lebih banyak lagi dan jauh lebih variatif nantinya.


Peran Nokia sebagai handphone yang paling banyak dimiliki di Indonesia ini hendaknya menjadi modal yang sangat kuat untuk dapat mengendalikan pola industri musik Indonesia dalam menyikapi perubahan era digital ini. Sudah seharusnya masyarakat musik Indonesia disadari agar lebih menghargai karya musik anak bangsa. Mengharamkan digitalisasi yang berujung pada pembajakan. Nokia Music Store menawarkan pengalaman musik digital yang setidaknya dengan mudah dapat diakses dan dijangkau banyak orang. Dengan fitur-fitur masa depan yang menjanjikan jika kelak telah beroperasi di Indonesia, .semoga layanan musik Nokia tidak hanya sekadar berorientasi bisnis, melainkan bertujuan mulia dalam mengkondusifkan iklim industri musik Indonesia yang nyaman dan aman bagi musisi-musisi lokal, dan tentunya masyarakat musik Indonesia secara keseluruhan. Digital should heal musicians.



Visit : http://www.nokia.co.id/layanan/musik

The Sandro Rayhansyah : 10 Album Terbaik Internasional 2009

10 Album Terbaik Internasional 2009


1. U2 – No Line On Horizon

Empati dan simpati terhadap kenyataan dunia akan perang, kedamaian dan cinta diemulsikan dengan fasih melalui medium kejayaan stadium-rock U2 lewat No Line On Horizon. Tanpa terkecuali semua lagu di album ini berpotensi menjadi hits yang akan selalu berkumandang kencang di setiap sudut barisan penonton yang selalu mencapai angka puluh-ribuan dalam setiap konser mereka. Inilah masterpiece klasik dari salah satu band rock terbesar dan terbaik sepanjang masa yang masih hidup dan gemar untuk tur keliling dunia setelah Rolling Stones. Sepanjang tahun 2009 agenda U2 adalah menebar virus perdamaian melalui tur terbesar yang pernah ada dalam sejarah musik populer dunia.

2. Green Day – 21st Century Breakdown

Jika American Idiot berbicara tentang segala protes dan perlawanan terhadap betapa kelam dan kejamnya rezim Bush kala itu, 21st Century Breakdown adalah sekuel sempurna rock-opera Greenday yang melihat sisi lain dalam segala bentuk keoptimisan era baru Amerika versi Obama dalam harapan, mimpi, chaos, kecewa, dan kepasrahan sisa-sisa rongsokan pasca-era Bush. Green Day mengalami fase penyempurnaan musikalitas mereka yang merupakan hasil hybrid punk-rock khas mereka dengan elemen-elemen classic rock hasil experimen di American Idiot. 21st Century Breakdown merupakan buah pemikiran mantan bocah punk yang berbicara lantang tentang isu nasionalisme amerika dalam pendekatan yang paling realistis.

3. Pearl Jam – Backspacer

Eddie Vedder dkk kembali membuktikan bahwa energi grunge lama khas Pearl Jam di awal karir masih fasih mereka mainkan. Setelah rocker-rocker ini berhasil tersenyum lebar ketika rezim Bush turun dan Eddie Vedder kembali ke sosok lama yang gondrong dan berpenampilan urakkan, Backspacer menjadi karya mereka yang paling sederhana baik secara musikalitas dan lirik. Tak butuh banyak embel bebunyian aneh sana-sini, Backspacer didominasi dengan nomor-nomor grunge cepat berdurasi 2-3 menit yang bersinergi dengan attitute punk-rock bar-bar ala The Who seperti "Gonna See My Friend", “Got Some”, hingga hit single "The Fixer". Ramuan Backspacer adalah obat rindu yang mujarab bagi kita semua yang merindukan Pearl Jam era ’gondrong’ semenjak Ten dirilis 18 tahun yang lalu.

4. Arctic Monkeys – Humbug

Empat muda harapan inggris ini nggak lagi mau disebut bocah-bocah ingusan baik yang gemar memainkan musik The Libertines ataupun The Strokes. Bersama Josh Homme (Queens Of The Stone Age), raja rock inggris ini memilih untuk menjadi lebih berat dan lebih dewasa. Sampai jumpa punk-rock yang meledak-ledak, kuartet ini seakan menghabiskan semalam suntuk di studio bersama LSD yang kemudian menghasilkan nomor-nomor yang ganjil dan beraura gelap seperti “My Propeller”, “Crying Lightning” ataupun “Dangerous Animals”. Hebatnya Humbug masih akan disukai banyak orang. Arctic Monkeys membuat jutaan remaja di seluruh dunia untuk berterimakasih kepada The Doors dan pengaruh psikotropika. Haha.

5. Mastodon – Crack The Skye

Inilah stoner-metal terbaik Amerika saat ini. Di Crack The Skye mereka memaksimalkan eksplorasi metal yang sedemikian mencengangkan dan mencoba mendekati batas-batas yang secara rasional sulit dimainkan oleh band heavy metal manapun di muka bumi. Riff-riff tebal ala Black Sabath dipadu oleh aransemen yang lebih rumit seperti di ”Oblivions”, ”Divinations” ataupun ”Crack The Skye”. Tatkala mereka pun lepas landas ke ranah progresif di ”The Czar” ataupun ”The Last Baron” yang berdurasi 10 menit lebih. Crack The Skye adalah karya metal terbaik tahun ini, dan kelak saya yakin akan menjadikan nama Mastodon sejajar dengan Pantera atau bahkan Metallica.

6. Yeah Yeah Yeahs – It’s Blitz!

Versi femme dari The Strokes, Yeah Yeah Yeahs, kali ini memadukan garage-punk dan segenap bebunyian synth, menjadikan It’s Blitz! sebagai karya paling eksperimental sekaligus salah satu yang terbaik dari trio asal New York ini. Karen O’ (vokal) masih bernyanyi dengan cara yang nggak lazim, sosoknya mungkin seperti Deborah Harry (Blondie), namun pada taraf yang lebih ekspresif dan terkadang autis. Dan sepertinya mereka sibuk membawa pengaruh synth pada tingkat yang dominan. Mulai dari “Zero”, “Soft Shock”, hingga “Heads Will Roll” seakan mentransformasikan kata ’garage’ yang melekat di nama mereka dengan imbuhan-imbuhan seperti ’disco’ ataupun ’dance’, walau benang merah It’s Blitz! masih di seputar post-rock/punk revivalist. Mungkin nggak ada lagi lagu tipikal ”Date With The Night” ataupun ”Rockers To Swallow” yang kasar dan terdengar raw yang menjadi ciri khas mereka selama ini, tetapi eksperimen mereka kali ini juga bukan suatu pertanda buruk, melainkan jauh sebaliknya.

7. Mars Volta – Octahedron

Setelah menghasilkan The Bedlam Of Goliath yang lebih ramah lingkungan dari rilisan-rilisan mereka sebelumnya, duo ini kembali ke akar progresif di Octahedron, tapi tidak dengan semangat yang liar seperti biasanya. Hampir seluruh nomor di album ini dominasi oleh mid-tempo dan aransemen yang bisa dibilang ‘menghanyutkan’, hanya “Cotopaxi” sepertinya yang mengingatkan kita pada pola alur musikal Mars Volta yang lama. Duo ini seakan memperlihatkan bahwa mereka sangat mencintai Led Zeppelin seperti pada “Since You’ve Been Wrong” yang terdengar sebagai modifikasi dari “Since I’ve Been Loving You”-nya Zep. “Teflon”, “Halo of Nembutals”, “Luciforms” dan lainnya bagai nomor-nomor yang disuntikkan steroid blues yang berasal dari planet mars. Octahedron, seperti halnya album-album Mars Volta lainnya, selalu sulit dimengerti tapi begitu sayang untuk dilewati. Satu kata : memabukkan.

8. Phoenix – Wolfgang Amadeus Phoenix

Phoenix berhasil meredefinisikan bahwa french-indie-rock ala mereka bukanlah sekedar prototype turunan post-indie-rock generasi ’00-an biasa. Memang ada pengaruh Strokes era Is This It dengan ritme beat yang danceful, namun dibalut dengan sentuhan synth yang manis di sepanjang lagu seperti pada “Lizztomania”, “Girlfriend” hingga “1901” sehingga terdengar menyegarkan. Embrio french rock yang mereka lahirkan adalah formula penyempurnaan dari indie-rock dengan pengaruh electro-beat yang akut. Dan itu adalah hal yang menyenangkan, Wolfgang… terdengar sangat nyaman di telinga.

9. Metallica – Death Magnetic

Raksasa heavy metal akhirnya kembali ke fitrahnya : Raksasa thrash metal. Rentetan Load, Reload dan St. Anger seakan menjadi dosa besar yang tak akan dengan mudah diampuni bagi seluruh metalhead di dunia jika saja Metallica nggak menebusnya dengan Death Magnetic ini. Bapak-bapak umur 40 tahun ke atas ini walau semakin tua mencoba bermain dengan cepat, bahkan sangat cepat seperti di era awal mereka. Solo gitar yang sepanjang-panjangnya dan gebukan double pedal drum bagai hantaman peluru benar-benar menghakimi telinga pendengar. Metallica mengembalikan thrash metal yang epik layaknya di era Master of Puppets melalui “My Apocalypse”, “Judas Kiss” hingga “The End of The Line”. Ada juga “The Day That Never Comes” yang mengingatkan kita pada keagungan “One”. Tak ada satupun lagu yang berdurasi di bawah 5 menit, menandakan ini adalah suatu pertanda baik yang selalu kita tunggu semenjak …And Justice For All 20 tahun yang lalu.

10. Them Crooked Vultures – Them Crooked Vultures

Inilah format sederhana dari supergrup terbaik tahun ini : 1 orang Zeppelin dan 2 orang penyembah Zeppelin. 1 orang Zeppelin yang dimaksud adalah seorang John Paul Jones, basis rock terbaik yang mengawali karir sebagai session player yang disegani di inggris sebelum akhirnya diajak Jimmi Page bergabung membentuk band yang kelak dinamai Led Zeppelin, band yang kemudian mendefinisikan apa yang disebut dengan heavy metal. Dan kehadiran 1 orang Zeppelin di Them Crooked Vultures ternyata sangat berpengaruh, Anda bagai mendengarkan Led Zeppelin di abad 21. “Elephants”, “Scumbag Blues”, dan “Bandoliers” terdengar seperti materi rekaman sisa Zeppelin yang tersisa terakhir bersama Bonzo—Dave Grohl (drum) benar-benar mencoba mendekati pengaruh permainan Bonzo/John Bonham. Bukan berarti 2 orang penyembah Zeppelin tersebut, Josh Homme (Queens of The Stone Age) dan Dave Grohl (Foo Fighters/Nirvana), nggak memberi pengaruh sedikitpun. Pada “Dead End Friends” ada sedikit pengaruh grunge Nirvana dan di “Gunman” ada aura Queens of The Stone Age yang gloomy dan dark. Setidaknya mereka menunjukkan bahwa mereka sangat menghormati Jones dan Zeppelin, dan Jones pun nggak segan untuk berbagi ide dengan 2 penyembah Zeppelin yang sepertinya secara kebetulan sangat klop. Harapan saya ini nggak sekedar proyek onani, saya yakin semua orang berharap akan kelanjutan cerita dari Them Crooked Vultures.


The Sandro Rayhansyah : 10 Album Terbaik Indonesia 2009

10 Album Terbaik Indonesia 2009

1. The S.I.G.I.T – Hertz Dyslexia

Hertz Dyslexia bukanlah sebuah album full LP, bahkan hanya sebuah EP. Tetapi album ini mempunyai daya magnet luar biasa, hasil eksperimen 4 armada rock terbaik Indonesia saat ini ternyata tanpa disangka begitu memikat. Hanya cukup 7 amunisi bagi The S.I.G.I.T untuk bersenang-senang di album yang mereka bikin dengan ‘setengah hati’ –album ini nggak dianggap sebagai album studio ke-2, hanya album ke-1,5 sebagai jembatan menuju album ke-2, dan mereka berani bermain di luar pakem yang telah berjasa mengangkat nama mereka sebagai salah satu band rock terpanas 2009. Mereka mengurangi intensitas refrain catchy yang penuh hook singalong ataupun riff-riff yang mengena di kepala dengan mudah, dan sebagai substitusi mereka mengimbuhkan solo gitar orgasm yang panjang di “Money Making”, mengutak-atik efek dengan aroma psikedelik di “Midnight Mosque Song” hingga mengambil pengaruh stoner-hard rock yang keras dan cepat di “The Party”. Hertz Dyslexia adalah ironi paling pahit di tahun 2009 : album terbaik lokal yang bukan diisi oleh hits-hits, namua ternyata terdiri dari materi-materi B-sides yang disempurnakan. Pujian dan pujaan terhadap band rock satu ini nggak akan pernah habis, mereka berhak mendapatkan status sebagai yang terbaik di antara yang terbaik tahun ini.

2. Tika & The Dissidents – The Headless Songstress

Predikat Diva sudah berada dalam di titik terendah dalam konteks industri musik Indonesia di beberapa tahun belakangan. Terlebih ketika nama Diva dijadikan nama sekelompok musik ibu-ibu yang memakai glitter dan bergaun mewah di 3 Diva –yang secara nggak sehat mereduksi pengertian Diva yang diserap oleh jutaan masyarakat musik Indonesia, dan Melly Goeslaw yang begitu giatnya memproduseri BBB hingga menyanyikan “Glow”, sejak itu saya nggak percaya lagi dengan yang namanya musisi perempuan. Tetapi Tika bak Ibu Kartini yang mengangkat kembali derajat perempuan dalam dialog musikal yang sudah sedemikian terpuruknya. Bersama The Dissidents dia menghasilkan album paling futuristik sepanjang tahun ini. Hampir semua genre populer disambangi oleh Tika & The Dissidents. Ada pengaruh eksperimental rock di “Mayday”, folk-pop di “Claustrophobia”, big-band swing di “20 Hours”, avant-garde yang berpadu dengan unsur klasikal di “Tentang Petang” hingga segenap jazz, blues dan pengaruh-pengaruh musik eropa-amerika di tahun ’30-an. Dan dia bernyanyi tentang perlawanan terhadap keseragaman, lalu bersorak akan perjuangan kaum buruh dan kaum gay sebagai perlambangan minoritas. Album yang nggak akan tertandingi oleh Diva manapun yang terbuai oleh kehidupan glamour dan hanya dapat berbangga pada kesuksesan masa lalu.

3. Dead Squad – Horror Vision

Personil-personil band-band metal terbaik Ibukota berkumpul membaurkan diri mengikhrarkan konspirasi metal terganas yang pernah ada di sejarah musik rock/metal Tanah Air. Horror Vision adalah debut EP dari personil-personil Tengkorak, Siksakubur, Stepforward, Netral hingga Andra & The Backbone. Mereka menyebutnya Technical Death Metal yang memang dibuktikan dengan skill akan kecepatan dan presisi teknik bermain yang berkaliber tingkat tinggi. 8 nomor death metal menggebu-gebu bagai Sepultura era Max Cavalera yang berbagi bunyi dengan Lamb of God ataupun As I Lay Dying dengan kecepatan double pedal drum 100km/jam yang mendekati hakikat grindcore. “Hiperbola Dogma Monoteis”, “Pasukan Mati”, “Sermon of Deception” hingga “Horror Vision” akan membakar panas indera pendengar Anda. Horror Vision mutlak adalah rilisan metal terbaik tahun ini!

4. Monkey To Millionaire – Lantai Merah

Trio lulusan LA Lights Indiefest ini ternyata menghasilkan album yang sangat cerdas. Atmosfer Lantai Merah adalah kejayaan gerakan alternatif/indie rock tahun ’90-’00-an dengan mazhab yang mengambil kiblat yang lebih ke arah brit. Rumus andalan mereka adalah indie-rock minimalis penuh distorsi gitar dengan kadar seperlunya, diramu dengan lirik campuran indonesia-inggris berkelas, nggak asal bahasa inggris supaya terdengar cool, dan kebetulan kualitas lirik Indonesia mereka yang mampu menyaingi departemen lirik Efek Rumah Kaca sekalipun, sebagaimana seperti di “Replika” ataupun “Merah”. Nomor-nomor lain di Lantai Merah diisi oleh penggunaan sajak yang apik di setiap bait liriknya dengan pengaruh musikalitas yang terdengar seperti Interpol campur Weezer yang bervokalis-kan Julian Casablancas (The Strokes) versi replika kw1.

5. Anda – In Medio

Si pelantun “Tentang Cinta”, Anda, kembali, tapi jangan harap dia akan menyanyikan “Tentang Cinta” versi lain di album solo debutnya. Mantan gitaris Bunga ini ternyata mengeksplor sisi idealis bermusiknya melalui In Medio, menjadikan album ini menjadi terlalu berbobot untuk jadi album soundtrack film cinta remaja SMA. Dan Anda menepis segala stigma dia yang dulu lebih dikenal sebagai pelantun lagu “Tentang Cinta” yang menjadi soundtrack untuk film Ada Apa Dengan Cinta (2000). Dibuka dengan “Dalam Suatu Masa” yang indah dan damai dibalut dengan pop-akustik, ”Psychedelia” yang menghanyutkan dengan pengaruh rock psikedelik sebagaimana yang tertera di judul lagunya, dan “Biru” yang merupakan komposisi terkuat di In Medio dengan pengaruh hybrid antara pop, rock & blues yang membius. Penggunaan lirik cinta yang secara tema berada di luar umum, dan penggunaan diksi kata dengan analogi yang berkelas seperti (Kulihat dirimu menari/Cintamu lalui nafas Tuhan) ataupun (Dia mengalir dalam darahku/Dia bayangan atas nyawaku/Biru, biarlah dua menjadi satu), agaknya adalah bukti yang kuat bahwa In Medio adalah debut yang mengesankan dari seorang Anda.

6. The Upstairs – Magnet!Magnet!Magnet!

Pahlawan new wave Ibukota kembali dengan magnet yang mempunyai daya tarik yang tak kalah menarik dari rilisan-rilisan sebelumnya, yang sekaligus menandakan kembalinya mereka ke gerakan independen–walau debut major mereka sebenarnya juga nggak menunjukkan adanya indikasi kompromi dari musikalitas dan lirik mereka. Masih pada formula yang sama, Magnet! masih seputar new wave yang merempet pada attitute punk yang kental dengan suara parau Jimi Multhazam yang provokatif sepeti pada ”Kami Datang Untuk Musik”, ”Kunobatkan Jadi Fantasi”, ”Agar Kita Semua Senang” hingga ”Ekspektasi Nol”. Namun kali ini mereka memberi ruang lebih untuk vokalis perempuan mereka, Dian Mariana, untuk mengimbangi teriakan jimi melalui nyanyian yang lebih tenang dan sangat memukau seperti pada ”Percakapan” ataupun di ”Di Antara Haluan” yang menjadi sangat melodius sekaligus mengiris di saat yang bersamaan. Setidaknya menjadikan The Upstairs terdengar lebih ’bernyanyi’ daripada album-album sebelumnya.

7. The Changcuters – Misteri Kalajengking Hitam

Rock n’ roll-ers paling fenomenal asal Bandung satu ini memang band yang sangat disenangi sekaligus dibenci banyak orang. Setelah tampil dalam berbagai iklan produk mulai dari provider seluler hingga minuman anak-anak, sepertinya The Changcuters menjadikan album studio mereka sebagai satu-satunya pembuktian identitas mereka yang sebenarnya. Misteri Kalajengking Hitam, yang bagai judul dongeng sebelum tidur anak-anak ini justru terdengar sebaliknya, terdengar dewasa untuk ukuran The Changcuters. Lewat album ini mereka melakukan reformasi (belum pada tahap evolusi) terhadap fondasi dasar garage rock ala The Stones mereka sebelumnya, walaupun secara lirik mereka masih tetap jenaka adanya. Secara visual mereka telah mengubah penampilan layaknya The Horrors, dan secara musikalitas pengaruh The Horrors pun juga mengambil andil besar di Misteri Kalajengking Hitam. “Main Serong”, “Mr. Portal” dan “Remaja Masa Kini” terdengar sedikit kelam dan gelap dengan pengaruh art-rock dan riff gitar ala rock revivalist macam The Strokes ataupun Interpol. Misteri Kalajengking Hitam adalah pendewasaan dari The Changcuters, walau mungkin masih bersifat kontemporer. The Changcuters masih mengajarkan pengertian rock n’ roll ala mereka yang selalu bersenang-senang dan asoy geboy.

8. Gribs – Gondrong Kribo Bersaudara

Gribs adalah sekelompok anak muda yang berani tampil dengan rambut gondrong kribo bak Motley Crue ataupun Guns N Roses, beratribut celana kulit ketat, lengkap dengan jaket hitam ataupun sampai yang bermotif macan tutul sekalipun. Dipersatukan atas tali persaudaraan, kecintaan yang sejati terhadap musik rock, dan fashion glam rock/hair metal ’80-an, Gribs (Gondrong Kribo Bersaudara) rela menjual diri mereka atas nama rock. Keseluruhan nomor-nomor di debut mereka ini adalah sensasi kejayaan musik hard rock ’80-an. Ketika fondasi hard rock Van Halen terpengaruh panjangnya rambut dan keglamoran hair metal ala Motley Crue hingga Bon Jovi, namun dengan nuansa Indonesia layaknya God Bless di era Semut Hitam minus Yockie Suryoprayogo, dengan sedikit aksen metal agresif layaknya Roxx di Black Album. Ada "Rocker" yang menjadi jelmaan "Rock Bergema" versi abad terkini, "Ketika" yang berformula ballad yang menyaingi keagungan ballada metal ala Loudness ataupun X-Japan, dan ada juga anthem penyembahan rock sebagai suatu kepercayaan pada "Rock Bersatu" yang mengingatkan pada power metal ’80-an ala Iron Maiden. Sisanya? nomor-nomor rock di album debut ini masih mengingatkan kita pada zaman peradaban rock yang liar (dengan rambut yang liar juga tentunya). Benar-benar suatu persembahan rock yang murni tanpa basa basi.

9. Gigi – Gigi

Veteran pop ini masih megang di umur yang nggak lagi tua. Self-titled ini mengembalikan aura Gigi yang telah lama nggak kelihatan : muda (walaupun umur 40 tahun ke atas), luwes dan enerjik. “Ya..Ya..Ya..” sontak meroket dan bersaing dengan hits-hits band-band pesaing pendatang baru di wilayah pop/rock mainstream. Armand Maulana pun memanfaatkan trend facebook lewat “My Facebook” yang dengan mudah diterima banyak orang dan merajai berbagai chart radio di Indonesia. Gigi masih sangat ‘menggigit’ di 15 tahun lebih eksistensinya di belantika musik Tanah Air.

10/. Endah N’ Rhesa – Nowhere To Go

Akhirnya ada juga artis pop lokal yang nggak terjebak dalam stagnansi sebagian musik pop Indonesia yang didominasi oleh pop-pop jazzy yang semakin hari semakin monoton. Walau hanya berformat satu gitar akustik dan satu bas elektrik, gaung duo indie ini bersaing ketat dengan band-band pop arus utama Indonesia sekarang ini. Mereka membawakan lirik bahasa inggris yang simple dan nggak berbelit-belit tentang cinta yang hebatnya nggak terdengar menggelikan seperti “When You Love Someone” ataupun “ “. Karya-karya mereka pun secara musikalitas sangat cheesy dan easy listening –namun bukan berarti jelek. Berpijak pada basic folk-pop, aksen blues dan sedikit jazz benar-benar menjadikan rilisan ini salah satu album pop tersegar di antara banyak rilisan pop ke-jazz-jazz-an yang kian seragam.

Selasa, 01 September 2009

The Sandro Rayhansyah Review : Michael Jackson - Thriller

Artist : Michael Jackson
Album : Thriller
Year : 1982
Score : 10 of 10




Terlepas dari momen akan segala euforia tentang kehilangan salah satu penyanyi, salah satu pop-star, terbaik dan terbesar yang pernah ada di muka bumi, bagi saya, Michael Jackson adalah pahlawan masa kecil abadi yang tak tergantikan setelah John Lennon, Kurt Cobain, dan Kotaro Minami. Selain menjadi tokoh protagonis dalam game favorit saya di konsol sega genesis, Michael Jackson adalah tokoh antagonis yang selalu hadir dalam mimpi buruk saya kala mengingat video klip "Thriller" yang tergolong sangat horror untuk ukuran saya dulu yang berumur 6/7 tahun.

Sebelumnya di Thriller, di Off The Wall Michael Jackson telah men-set suatu standar baru akan pop, disco, dan dansa yang paling dipakai di sepanjang dekade 80an. Suatu pertanda yang nyata akan sosok Michael Jackson sebagai calon kuat penguasa pop 80an paling menjanjikan dengan segala bakat audio-visual yang dia miliki.

Thriller adalah suatu dokumentasi signifikan ketika dance-pop ala Michael Jackson berada pada puncaknya. Michael Jackson masih mempertahankan fondasi pop lintas genre peninggalan Off The Wall, lalu memperkaya dengan mamadukan elemen-elemen variatif lewat smooth-pop, pop-ballad, funk, soul, hingga hard-rock sekalipun. Ada "Billie Jean" yang R&B-ish dengan nyawa soul yang akut, ballada manis pada "Human Nature", hingga "Wanna Be Starting' Something" dan "thriller" yang merupakan nomor-nomor signature R&B khas ala Michael Jakcson yang akan membuat siapapun yang mendengar untuk berdansa ria.

Michael Jackson (lagi-lagi) menggaet living legend Sir Paul McCartney untuk kembali beradu vokal sekaligus berebut pasangan dalam nuansa sweet-pop pada "The Girl is Mine". Kemudian menggaet maestro gitar, Eddie Van Halen, untuk berkonspirasi menghasilkan lagu disco-beat paling hard-rock dalam sejarah musik populer dunia dalam "Beat-It".

Melalui Off The Wall, Michael Jackson memproklamirkan dirinya sebagai pionir pop yang juga kuat secara audiotory, membuktikan bahwa album studio Michael Jackson bukanlah rekaman yang bersifat komplemen dari sosok dia sebagai penyanyi panggung. Dan melalui Thriller anda akan menyadari betapa jenius-nya seorang Michael Jackson, melebihi segala karisma visual seorang entertainer sejati yang dia punya. Kita tak melihat Michael Jackson bergerak, bernyanyi, dan berdansa, hanya indera pendengar kita yang merangsang semua komposisi menawan dari keseluruhan album Thriller. Tujuh puluh lima juta lebih umat manusia diseluruh dunia adalah alasan bahwa album ini benar mempunyai tingkat presisi yang tinggi dalam menyuguhkan sensasi musikalitas khas Michael Jackson via piranti rekaman.

Adalah hal yang sangat wajar, di umur rilis yang mencapai 25 tahun lebih, Thriller masih terdengar 'menegangkan'. Siapa sangka?. Dan berkat album inilah, saya berani berkata bahwa Michael Jackson berada di tingkat yang setara dengan Elvis Presley ataupun James Brown, dan bahkan melampaui mereka.

Jumat, 28 Agustus 2009

The Sandro Rayhansyah Review : Jet - Shaka Rock

Artist : Jet
Album : Shaka Rock
Year : 2009
Score : 5,5 of 10


Sahabat lama kita, rock 'n' rollers asal Australia, Jet, kembali membuka garasi untuk di studio album mereka yang ketiga. Shaka Rock bisa disinonimkan dengan garage rock ala mereka yang sebenarnya tidak terlalu kelihatan diferensiasinya dengan teman-teman mereka yang berada di genre yang sejenis. Riff yang mengadaptasi garis rock garasi yang berkiblat pada Rolling Stones era 70an dan mengemulsi raungan gitar hard-rock ala AC/DC, namun dengan pendekatan pop ala Oasis yang penuh hook-hook singalong dimana-mana.

Setelah Get Born, Shine On, dan sekarang di Shaka Rock, mereka pun tak kemana-mana, Jet tetap disana. Entah enggan untuk mencari sesuatu baru yang signifikan atau apa, Shaka Rock masih seperti pembuktian akan sesuatu yang tak berbeda sama sekali. Oke kita mendengar bebunyian piano yang tidak sekedar imbuhan kord pemanis seperti di "La Di Da" ataupun di "Seventeen" yang berhasil menjadikan instrumen piano sebagai tekstur lagu yang tidak hanya bersifat supplementatif ataupun sebagai seri kelanjutan dari ballada "Look What've You Done" dan "Shine On" di album-album Jet sebelumnya. Namun "Goodybye Hollywood", "Let Me Out", hingga "She Holds A Grudge" adalah formula rock -anak mama generik- tanpa harapan yang (lagi-lagi) berharap bisa mencapai keagungan ballad berkelas seperti karya "Radio Song"- mereka di Get Born.

Beruntung mereka masih bisa menggigit di nomor hard-rock groovy ala AC/DC peninggalan "Put Your Money Where Your Mouth Is" di "Shes Genius" yang seharusnya akan membuat mereka masih dalam kasta yang sama dengan Kasabian ataupun Kaiser Chief. Coba simak juga pop-rock manis "La Di Da" yang terdengar seperti Rolling Stones era Brian Jones yang merilis Aftermath ditahun 2006, bukan 1966.

Jet bukanlah tipikal band rock yang terlalu peka dengan lingkungan sosial. Mereka lebih memilih berbicara tentang wanita, patah hati, dan prostitusi daripada berbicara tentang wacana protes, anti-war, ataupun hal-hal lain yang kerap dibicarakan dalam konteks rock. "K.I.A (Killed in Action)" merupakan sebuah lelucon besar di departemen lirik Jet. Terdengar lebih cocok menjadi soundtrack film komedi dari pada film action ataupun perang.

Shaka Rock nyaris menjadi karya paling ironis dalam sepanjang sejarah karir bermusik Jet. Jika di album berikut Jet masih lantang memainkan rock-rock klishe sefasih di Shaka Rock kali ini, saya pastikan album tersebut adalah album bunuh diri. Produk lokal kita seperti The Brandals ataupun The S.I.G.I.T, saya rasa punya kualitas yang berada jauh di atas Jet. Entah apa yang terjadi pada rocker-rocker asal Australia, setelah The Vines bunuh diri di album Melodia, Jet pun juga menyusul melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Mungkinkah ini pertanda kemunduran rock australia? harapan saya hanya tersisa di Wolfmother.

Sabtu, 22 Agustus 2009

The Sandro Rayhansyah Review : The S.I.G.I.T - Hertz Dyslexia


Artist : The S.I.G.I.T
Album : Hertz Dyslexia
Year : 2009
Score : 8 of 10



The S.I.G.I.T punya segalanya. Mereka adalah bentuk paling realistis dari sebuah image band rock yang benar-benar keren. Quartet asal Bandung ini bukanlah band rock 'n' roll murahan yang biasa terjebak dalam pola lagu 3 kord yang itu ke itu saja. Melalui Hertz Dyslexia, The S.I.G.I.T membuktikan bahwa mereka adalah band yang tidak takut untuk melawan apapun dan siapapun, entah itu arus industri, trend, bahkan fans mereka sendiri. Armada rock terbaik Indonesia saat ini terlihat sangat percaya diri dan tidak ragu-ragu memberi sedikit 'shock terapi' kepada semua Insurgent Army, melalui 7 amunisi killer songs di mini album bertajuk "Hertz Dyslexia" ini.

"Hertz Dyslexia" bisa dibilang adalah jembatan menuju perpisahan dari musikalitas garage-rock ala The S.I.G.I.T yang sing-along penuh hook di "Visible Idea of Perfection" menuju ke suatu bentuk rumusan garage rock yang lebih kompleks dengan pola musikalitas yang sedikit berada di luar jalur. Mereka mengutak-atik efek, suling, hingga dawai biola, untuk mencuri pengaruh rock experimental ala flower generation tahun 67an yang diprakarsai oleh The Beatles, The Doors, hingga Velvet Underground.

Alhasil, ramuan "Hertz Dyslexia" adalah suatu formula garasi rock yang raw namun detail secara sound, dan penuh ruang eksperimen tanpa batas. Mereka bermain-main bereskperimen disini dan disana, mengambil jalur yang tak mudah ditebak, dan bersenang-senang ketika penggemar lama mulai mengerutkan dahi ketika mendengar "Midnight Mosque Song" yang beratmosfer psikedelik hingga shoegaze, "Money Making" yang interlude-oriented dengan riff gitar turunan "Communication Breakdown" ala Led Zeppelin, hingga "The Party" yang sangat kick'ass-hard rock. Coba simak juga "Only Love Can Break Your Heart" yang akan mengisi sekaligus memperkaya repertoir mereka yang kekurangan stok lagu ballad romantis.

Mengutip kalimat Rekti sewaktu konser launching EP ini 20 Juni lalu, "Selamat datang di Dyslexia, ketika uang dan politik tiada artinya". The S.I.G.I.T membuat wacana politik dan uang di "Hertz Dyslexia" semakin terdengar kontekstual dengan segala kenyataan akan keadaan kondisi sosial-politik Indonesia versi terkini. Simak Rekti berteriak tentang doktrin menyembah uang di "Money Making", setan kapitalis di "Bhang", hingga mengacungkan jari tengah pada setiap partai politik yang ada di "The Party".

The S.I.G.I.T tidak hanya berani melawan arus, tapi mereka juga membuat orang terpengaruh untuk mengikuti arus mereka. Dan "Hertz Dyslexia" adalah sebuah attitude, pembuktian, dan langkah berani tanpa peduli setan akan apapun, sebuah deklarasi totalitas akan karya atas nama idealisme. Apalagi album ini dipackage dengan bonus DVD Live Sold Out mereka pada tahun 2006 kemarin di AACC, Bandung. Praktis menjadikan paket hemat "Hertz Dyslexia" ini sebagai kombo yang tak terelakkan.

The Sandro Rayhansyah Review : Monkey To Millionaire - Lantai Merah


Artist : Monkey To Millionaire
Album : Lantai Merah
Year : 2009
Review Score : 8 of 10




Monkey To Millionaire adalah band indie jebolan L.A Light Indie Festival edisi tahun kemarin bersama The Morning After, Wind Cries Mary, dan band-band indie lainnya. Tak seperti teman-teman band seperjuangan mereka di festival indie tersebut yang sekarang hilang entah kemana, Monkey To Millionaire adalah band yang paling terdengar dan disebut di antara band-band indie festival rokok manapun. Walaupun single "Rules and Policy" mereka di album kompilasi tersebut hanya terdengar berlalu begitu saja di telinga saya, makin kesini mereka berhasil membuktikan bahwa mereka bukan band-band indie latah yang kesekian kalinya terlalu mencoba menjadi keren untuk ber-rock n roll dengan lirik sok berbahasa inggris.

Dibawah naungan Sinjitos Records yang juga menaungi nama-nama besar seperti Gugun and The Blues Shelter, hingga Santamonica, 'Lantai Merah' adalah album debut 'tidak biasa' yang di-package secara serius dari segi industri dan kualitas.

Untuk informasi, bulan kemarin sempat diadakan release party untuk album ini yang diadakan di score citos. Tak tanggung-tanggung, nama-nama besar seperti The Porno, Gugun and The Blues Shelter, dan Santamonica didaulat menjadi opening act untuk pesta rilis band baru unik yang bernama Monkey To Millionaire ini, yang jujur saja kita tahu semua band ini belum ada apa-apa-nya secara popularitas. Bahkan, mereka tiba-tiba diendorse oleh Wrangler (bahkan juga didesain Monkey To Millionaire Signature Version untuk jeans dan kaos produksi Wrangler), padahal pertanyaan simpel saja belum tentu bisa dijawab banyak orang, "siapa mereka?". Tapi, terlepas dari semua itu, yang pasti ini adalah bukti konkrit yang serius dalam strategi promosi dari pihak management sekaligus label yang terlihat sangat supportif terhadap mengorbitkan band baru mereka.

Ketika mendengar free download single "Merah" ataupun single radio "Replika", tak sulit untuk menebak bahwa Weezer, The Lemonheads, Nirvana, Strokes, hingga Arctic Monkeys adalah oknum-oknum yang paling bertanggungjawab dalam memberi pengaruh musikalitas kepada trio-monyet-rock ini. Atmosfer Monkey To Millionaire di "Lantai Merah" adalah kejayaan gerakan alternatif/indie rock tahun 90an-00an dengan mazhab yang mengambil kiblat yang lebih ke 'arah britpop'. Rumus andalan mereka adalah indie-rock minimalis penuh distorsi gitar dengan kadar seperlunya, diramu dengan lirik campuran indonesia-inggris berkelas, tidak asal bahasa inggris supaya terdengar cool, dan kebetulan kualitas lirik Indonesia mereka yang mampu menyaingi departemen lirik Efek Rumah Kaca sekalipun. Tentu saja perihal krisis identitas yang dialami banyak band indie rock lokal sekarang, berhasil mereka tepis dengan baik. Mutlak dengan modal musikalitas dan lirik yang tidak dimiliki banyak orang, Monkey To Millionaire sudah akan membuat banyak band indie rock lokal iri.

Dari sisi produksi pun, "Lantai Merah" jelas tidak main-main. Lirik dan musikalitas cerdas mereka adalah dua taring sama kuat yang akan menjadi bekal utama 'monyet-monyet calon jutawan' ini untuk tak akan begitu saja menghilang berlalu dari peredaran kancah musik lokal dalam beberapa tahun ke depan. Mereka berhasil total me-interpretasi setiap lagu dengan lirik berbait line-line kalimat yang menjadi signature 'khas' dari setiap komposisi di "Lantai Merah". Coba simak "Replika" yang bercerita tentang protes trend gaya hidup dan pola pikir, dimana Wisnu (Vokalis-Gitaris) bersuara "Satu Melakukan, Maka Lakukan Semua" bagai 'replika' Julian Casablancas versi kw1 yang elegan. Kemudian "Merah" yang sangat atmoferik dengan suasana ambience duet Gitar-Bass yang menusuk memperkuat tema keputus-asaan, "Mereka yang kita sayangi, yang paling mampu melukai" benar-benar mampu menghipnotis suasana dibalut dengan nada-nada yang penuh hook. Ada juga "Fakta dan Citra" yang menggabungkan pola sajak sederhana yang unik, "Seperti langit dan birunya, seperti diam dengan emasnya", "30 Nanti" yang berbicara tentang keprihatinan terhadap gejolak sosial yang dihadapi kaum perempuan diumur lewat 30 dengan elemen rock datar-kelam ala Interpol. Dan penutup ballada pop-rock manis yang menghadirkan bintang tamu yang tidak saya pernah dengar sebelumnya bernama Marsha bla2 (Maaf saya lupa), dalam satu nomor yang sangat catchy di "Strange is The Song In Our Conversation". Coba simak juga lirik berbahasa inggris di tiga lagu lainnya di "Let Go". "The Vow", dan"Clown" yang tak kalah menarik untuk dibandingkan dengan lirik bahasa Indonesia mereka.


From "Zero" to "Hero" adalah arti dari balik nama "Monkey To Millionaire" seperti yang mereka wacanakan. Dan "Lantai Merah" berhasil membuktikan semuanya. Credit besar untuk Iyup (Santamonica) yang berhasil memproduseri album ini menjadi terdengar lebih matang secara performa sound dan mixing. Alhasil, Monkey To Millionaire berhak naik langkah satu tangga menjadi 'pahlawan' sekaligus menjadi 'jutawan' (mungkin) lewat debut album impresif yang akan membuat banyak orang berdansa di "Lantai Merah".