Sabtu, 22 Agustus 2009

The Sandro Rayhansyah Article : 50 Tahun Lebih Musik Populer Indonesia, Banggakah Kita?

-Sebuah Opini, Sebuah Sudut Pandang Dari Seseorang Yang Mulai Mencintai dan Menyadari Betapa Hebatnya Musik Populer Tanah Air Tercinta-

(PS : siapkan secangkir kopi atau sebatang rokok atau segelas eh teh manis anda sambil membaca tulisan yang panjang ini)

"musik Indonesia tidak berkualitas, enakan dengerin musik luar negri!"

"Wah lo dengerin musik Indonesia juga bro? Ha Ha Ha (dengan nada sindirar)"


Tulisan ini ditulis atas dasar motivasi akan kejenuhan saya menyimak dan mendengar deru opini-opini yang saya kutip di atas. Begitu sempit dan tidak berlandaskan dasar yang penting sekaligus kuat, menurut saya pribadi paling tidak. Lewat tulisan ini, saya mencoba memaparkan perjalanan musik populer Indonesia per-dekade dengan segala keterbatasan pengetahuan saya tentang sejarah musik populer di Indonesia. Inilah opini saya dalam usaha untuk memaparkan sebaik mungkin tentang industri musik Indonesia, entah yang dari saya baca, lihat, dengar, dan rasakan.

Decade 60’s
Melihat jauh puluhan tahun kebelakang, industri musik Indonesia (baca: populer) generasi 60an sayup sayup sudah mulai terdengar bergaung. Suatu pertanda embrio yang akan segera melahirkan bayi yang kelak tak disangka tumbuh dewasa dan jauh berkembang menapaki usia yang sudah genap 5 dekade lebih. British Invasion bertanggungjawab dalam melahirkan benih musisi populer di industri musik Indonesia kala itu. Pengaruh kepopuleran Beatles dan Rolling Stones kala itu membuat orang Indonesia mulai melihat ketertarikan untuk mencoba menjadi seperti mereka, John Lennon, Mick Jagger, hingga Elvis Presley, daripada menjadi petani atau guru. Sebelumnya musik populer Indonesia didominasi oleh musik-musik daerah dengan pendekatan modern, atau musik-musik 'NASAKOM" doktrin orde lama, lagu pengiring Soekarno di istana bersama istri-istrinya. Jika saya tidak salah, oknum-oknum tersebut antara lain Jack Lesmana, Bubi Chen, Oslan Husein, Bing Slamet, dll.

Koes Plus, raja 60an

Efek British Invasion membuat band-band populer lebih muncul secara mainstream mulai membawakan musik pop dengan pengaruh yang Soekarno sebut dengan istilah 'NEKOLIM' yang juga haram hukumnya bagi rezim orde lama. Dan jika menyebut satu, terucaplah Koes Bersaudara (kelak menjadi Koes Plus) sebagai band pop yang paling terlihat dan terdengar saat itu. Pengaruh musik Beatles dan Stones kala itu benar-benar memberi pengaruh luar biasa bagi wajah musik pop dunia, termasuk di Indonesia. Koes Bersaudara yang menganut doktrin nekolim ala pendeta berponi bernama Beatles tersebut, berhasil mengisi peran yang sama seperti Beatles dalam hal pengaruh musik pop di Indonesia, bahkan rock. Koes Bersaudara mengambil pengaruh Everly Brothers, Beatles, hingga Bee Gees untuk diramu dengan pop khas ala mereka. Selain mengantarkan mereka ke penjara tahun 1965, musik pop 'ngak ngik ngok' ala Koes Bersaudara adalah fondasi dasar dari wajah musik populer Indonesia tahun 60an dan seterusnya. Tak berlebihan jika disebut Koes Plus sebagai musisi terbesar di Indonesia nomor wahid sepanjang sejarah industri musik tanah air. Di sisi lain, 'figuran-figuran' di dekade 60an diisi oleh nama-nama lain seperti Dara Puspita, Titik Puspa, hingga Benyamin S.

Decade 70s
Musik Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat di dekade 70an. Besar dalam arti kata peningkatan secara kualitas, sekaligus juga penurunan secara industri. Pengaruh rock di dekade ini perlu digarisbawahi, remaja-remaja tidak lagi mendengarkan Beatles, mereka mengagung-agungkan sosok musisi seperti Deep Purple, Led Zeppelin, hingga Genesis. Akibatnya, muncul band-band rock bukan imitasi kacangan seperti The Rollies, Giant Step, AKA, dan living legend, God Bless. Hadir juga Gipsy (band awal Chrisye dengan Nasution bersaudara), Chrisye (solo), Yockie Suryoprayogo, Harry Roesli, Gombloh, Fariz RM, bahkan Rhoma Irama dalam kurun waktu 10 tahun tersebut. Begitu banyak yang bisa diceritakan dari setiap pelaku-pelaku musik pop 70an yang saya sebut barusan, dan begitu banyak album-album esensial berkualitas bintang lima yang dirilis di kurun periode 70an ini.
.
God Bless

Beberapa diantaranya adalah album debut God Bless yang dirilis tahun 1975. Dulu, di saat penurunan industri dalam konteks melayu di sepanjang dekade 70an, dimana musisi-musisi banyak ditawarkan untuk 'menjual diri' menyanyikan lagu melayu/dangdut dengan imbalan material yang menggiurkan, God Bless malah melawan industri dengan karya-karya rock luar biasa tanpa kompromi seperti "Rock di Udara", "Setan Tertawa", dll melalui album debut mereka dalam kadar rock yang total. Atau anda bisa dengar album "Cermin" yang berasal dari band yang sama. Album ini kembali dilontarkan ke pasar pada kondisi industri makin tak karuan, disaat rilisan album pop melayu, pop keroncong,dan pop jawa sudah dalam kuantitas yang tidak sehat lagi. Hal yang sama terjadi pada rilisan Koes Plus yang ternoda dengan dominasi industri saat itu. ""Cermin" adalah perlawanan dan bukti totalitas komitmen kualitas dari God Bless kala itu terhadap kenyataan industri musik populer Indonesia. Bernuansa progresif rock tingkat tinggi, bahkan di jaman Dream Theater belum lahir sekalipun. Ditambah dengan dominasi lirik dengan konteks yang sangat jujur dan idealis pada departemen lirik God Bless. "Musisi", "Cermin", hingga "Anak Adam", mutlak menjadikan album ini salah satu album terbaik lokal yang pernah dimiliki Indonesia.

Disuatu sisi, beruntung dekade 70an memiliki Guruh Soekarno Putra, putra bungsu dari "The Man" Soekarno, yang bersosok sangat kontradiktif. Anak dari segala kemewahan dan kekuasaan, tapi memiliki bakat yang sangat jenius dalam bidang seni dan kecintaan terhadap musik etnik dan alat musik tradisional. Menggaet Gipsy, membentuk Guruh Gipsy, melahirkan album self-titled yang classic dengan performa maksimal. Inilah musik rock dalam paduan seni dan perkawinannya dengan musik etnik yang eksperimental. Mendengarkan album ini membuat saya sungguh tidak percaya album ini dirilis tahun 70an. "Guruh Gipsy" sangat melintasi waktu puluhan tahun kedepan. "Geger Gelgel" membuat saya merinding, merasakan begitu luas dan liar-nya ruang eksperimen Guruh dan Gipsy. Hanya jenius yang bisa membuat album fusion antara progresif rock yang di-hybrid-kan dengan keagungan bunyi gamelan hingga talempong asli Indonesia seperti ini, bisa terdengar sangat pop. Dan Guruh Gipsy telah membuktikannya. Oya, Chrisye di album ini menjadi pemain bas dan pengisi vokal di beberapa track. Tak kan ada Discus dan Kantata Takwa tanpa album ini, dan juga musisi-musisi lain yang mencuri elemen pelaburan musik yang tidak lazim ini.
Guruh Gipsy

Bicara soal musik pop, tiada lain yang paling pantas disebut selain album "Badai Pasti Berlalu". Disaat cinta makin mendayu dan makin melayu versi 70an, Eros Djarot mengajak Yockie Suryoprayogo, Chrisye, dkk, untuk mendobrak keseragaman lirik cinta bodoh tersebut dengan lagu dengan interpretasi lirik yang berbeda. Klasik seperti "Cintaku", "Serasa", ”Merpati Putih" hingga "Badai Pasti Berlalu" adalah jejak awal Chrisye dalam meniti karir sebagai salah satu penyanyi solo terbaik sepanjang masa di Indonesia seiring dengan Iwan Fals.

Figuran-figuran lain di dekade 70an, ah, maaf, maksud saya oknum-oknum signifikan lain di dekade ini, adalah seperti Harry Roesli yang menghasilkan rock opera legendaris bertajuk "Ken Arok", beberapa rilisan rock dari Giant Step-Rollies-AKA-Shark Move, Kolaborasi Live Yopie Item-Idris Sardi, dll. Oya, termasuk album Rhoma Irama yang menghasilkan hits "Begadang", awal dari sejarah musik goyang sejuta umat di Indonesia, suatu campuran rock dengan nuansa musik india dan timur tengah, bernama Dang-Dut. Rhoma Irama seingat saya dari dulu sampai sekarang adalah penggemar berat Deep Purple. Beliau adalah rocker yang mempunyai alter ego yang tidak lazim, membuat orang bergoyang sekaligus berdakwah. Dan Duo Kribo (Ahmad Albar dan Ucok Harahap), juga sempat merilis album dengan hits populer seperti "Panggung Sandiwara" ataupun "Neraka Jahanam".

Chrisye



Decade 80an
Memasuki dekade 80an, Indonesia diberkahi Bob Dylan dan David Bowie yang bernama Iwan Fals dan Fariz RM. Duo ini adalah penyanyi-penyanyi yang paling disebut sepanjang dekade 80an seiring dengan meroketnya popularitas Chrisye dengan album-album seperti "Resesi", "Nona", dll. Fariz RM mewakili musik pop Indonesia yang populer dalam konteks yang lebih mainstream, sedang Iwan Fals lebih menyuarakan derita ketertindasan rakyat lewat karya folk-rock beliau.

Iwan Fals

Fariz RM

Supergroup bernama Swami sempat meramaikan dekade Michael Jackson ini. Berisikan dedengkot-dedengkot senior yang menyatukan visi dan misi untuk menjalankan fungsi kritik dari musik rock. Merasa janggal dari rezim feudal Soeharto yang tidak turun-turun tahta, disuatu sisi orang kaya (borju, konglomerat) semakin banyak, tak sebanding dengan orang miskin yang makin melarat dalam kuantitas merata, menyebar, sekaligus menyeluruh di negara korup ini. Lahirlah "Bongkar" ataupun "Bento", suatu deklarasi protes dan ketidaksetujuan terhadap kondisi sosial-politik Indonesia dari supergroup yang diperkasai oleh Iwan Fals, Sawung Jawo, dan disupport oleh budayawan ’rebel’, Setiawan Jhody.

God Bless kembali hadir dengan album yang kembali meraih sukses secara kualitas dan juga jualan (akhirnya). "Semut Hitam" di tahun 86 menjadi bukti eksistensi salah satu band paling berkualitas di Indonesia. Siapa yang tidak kenal dan hafal luar kepala anthem-anthem populer seperti "Semut Hitam", "Kehidupan", hingga "Rumah Kita"?.

Gerakan rock alternatif kloter kedua mulai kembali bergema lewat banyaknya festival-festival band rock yang melahirkan generasi-generasi band rock yang kelak akan menjajah blantika musik rock Indonesia di dekade 90an. Festival Band Rock Populer Indonesia yang dicetus oleh Log Zhelebour adalah awal bagi band-band rock seperti Grass Rock, Boomerang, Roxx, Andromedha, Power Metal, hingga Slank.

Memang aktor-aktor lain di dekade ini lebih diramaikan oleh kehadiran penyanyi-penyanyi pop 80an full synth, bunyi-bunyian keyboard norak, sekaligus gaya berpakaian yang culun. Tambah lagi pop 'kreatif' seragam ala Rinto Harahap, Obbie Messakh, dan teman-teman. Oya, juga ada lady rocker Nicky Astria. Beruntung Tuhan menganugrahkan talenta-talenta seperti Fariz RM, Chrisye, Iwan Fals, oya dan Ebiet G. Ade untuk menyelematkan musik Indonesia di dekade paling 'pop' di sejarah musik Indonesia.



~Bridging the Decades~
Dua dekade selanjutnya adalah evolusi dari industri musik yang secara perlahan-pelahan tapi pasti menuju perubahan akan suatu era baru di industri musik tanah air. Ketika teknologi semakin berkembang, internet merubah segalanya tentang musik. Baik dari segi format, distribusi, bahkan sampai pada pengaruh akan kualitas. Ragam genre mulai muncul pada permukaan, TVRI tiada lagi mendominasi chart video klip anak negri, RCTI hadir, hingga MTV menyusul dipertengahan 90an memberikan pertanda baik sekaligus buruk akan masa depan musik populer Indonesia.

Decade 90s
Awal 90an, munculah terobosan dari kumpulan anak muda pengangguran yang bergaya 'tidak sopan' . Ya, siapa lagi kalau bukan Slank. Merilis album "Suit Suit He..He.." diawal 90an, Slank membuat jutaan anak muda Indonesia mendadak menjadi slenge'an dan menggemari gaya mereka yang 'apa adanya'. Slank adalah band rock dengan cita rasa Indonesia yang kental. Di saat anak muda Indonesia memanjangkan rambut mereka untuk menjadi Bon Jovi, Guns n Roses, dan Mr. Big, hingga Nirvana dengan grunge yang membuat anak muda Indonesia merobek bagian lutut di celana jeans biru mereka, Slank tidak terjebak dalam hal trend mengikuti pola musik barat 90an. Rentetan album "Kampungan", "Piss", hingga "Generasi Biru" adalah album rock n roll dengan cita rasa Indonesia. Lirik mereka adalah suara hati jutaan anak muda Indonesia. Image mereka pun dekat dengan kita semua, tidak berlebihan sama sekali. Tidak heran komunitas Slankers lahir dan tumbuh cepat menjadi komunitas musik terbesar yang pernah ada selama sejarah industri musik Indonesia. Walaupun sempat gonta-ganti personil akibat drugs, Slank sampai detik ini tetap masih menyandang status sebagai band rock paling populer nomor satu di Indonesia, bahkan melewati pendahulunya, God Bless.
Slank

Dikonteks pop mainstream, band-band pop alternative mulai muncul bagai air mengalir. Namun hanya sedikit beberapa di antara mereka yang pantas dicatat dalam sejarah. Di antara mereka adalah seperti Dewa 19, Kla Project, dan Gigi.

Dewa19

Dewa 19 adalah band pop/rock asal Surabaya, dimotori oleh Ahmad Dhani, Andra Ramadhan, dan Ari Lasso yang sampai sekarang pun nama-nama mereka masih terdengar lantang lalu lintas di trend musik tanah air. Single "Kangen" membuat Dewa 19 naik kasta sebagai salah satu band yang sangat populer kala itu bersanding dengan Kla Project yang sebelumnya sudah curi start. Dewa 19 bukanlah femonena sesaat, mereka bukan one hit wonder band yang di album kedua atau ketiga akan punah dimakan zaman yang menjadi krisis banyak band pop saat itu. "Terbaik Terbaik" adalah album puncak musikalitas Dewa 19 yang dirilis di pertengahan 90. Menjadikan Dewa 19 mutlak sebagai salah satu koki penting dalam membentuk rajikan musik populer yang paling dipakai sekaligus ditiru band-band kacangan jaman sekarang. Menjadikan Ahmad Dhani adalah salah satu dari contoh figur komplit dari seorang musisi yang jenius. Setiap album Dewa 19 mempunyai hits yang sangat populer, dan curangnya juga jualan dari penjualan kaset dan cd.

Bersama Dewa 19 dan KLA Project, Gigi juga adalah penguasa musik pop dekade 90an. Tidak seperti dua band tadi yang sukses secara penjualan, kepopuleran Gigi tidak terlalu didukung dengan penjualan yang memuaskan. Gigi lebih dikenal sebagai band panggung yang hebat. Mereka memiliki Armand Maulana sebagai sosok vokalis yang berkarakter kuat hingga duo gitar maut Dewa Budhajana dan Baron yang merupakan formasi klasik mereka dikisaran tahun 1995. Hits abadi seperti "Janji” ataupun ballad ”Yang Tlah Berlalu (Nirwana)” adalah repertoir klasik Gigi di setiap panggung mereka.

Disisi yang sebaliknya, kepopuleran Metallica, Megadeth, Slayer, Sepultura, dll membuat hasrat metal anak muda Indonesia tak tertahankan. Jebolan festival rock Log Zhelebour, me-roketkan mesin tempur metal pertama yang sukses secara popularitas bernama Roxx. Mereka bagai pahlawan bagi scene musik rock lokal yang haus akan idola metal dengan sosok yang keren seperti Metallica, dan band-band metal yang saya sebut di atas. Roxx tampil dengan rambut gondrong, kaos hitam, jeans, dan musik speed metal yang liar. Roxx terlihat begitu cool, sangar, dan begitu metal. Lahirlah album debut "Roxx" yang merupakan album metal paling signifikan dalam sejarah musik cadas di scene lokal Indonesia. "Rock Bergema" adalah anthem musik rock Indonesia tak terbantahkan sepanjang masa. Mereka menginspirasikan semua band-band rock/metal Indonesia saat itu untuk mulai berani unjuk gigi ke khalayak ramai. Suckerhead, Puppen, Netral, Boomerang, Jamrud, PAS Band, Getah, Burgerkill, Koil, dan semua band rock/metal mainstream/non-mainstream pasca album "Roxx" tanpa terkecuali terinspirasi dan berhutang budi kepada Roxx.

Musik underground dalam arti kata musik yang tidak populer secara mainstream juga mulai menunjukkan taringnya. Bukan berarti dengan tidak dikontrak oleh label besar dan tampil di TVRI, memutuskan harapan mereka untuk berkreativitas di scene musik Indonesia. Scene Bandung adalah scene yang banyak mempengaruhi gerakan mandiri (DIY) yang kemudian dikenal dengan istilah independent atau indie. PAS BAND dengan "4 Through the SAP" diklaim sebagai album indie pertama yang dirilis di Indonesia. Distribusi mandiri, dan pola lagu yang independent tanpa ketergantungan pada trend musik pop, adalah nyawa dan tanda genderang dimulainya pergerakan indie di Indonesia. Sebuah scene non-mainstream yang kelak menghasilkan band-band prima kualitas namun minim apresiasi masyarakat luas secara popularitas.

Dipertengahan 90an kembali kita mendengar gaung kecil akan nama-nama seperti Rumah Sakit, Getah, Tengkorak, Puppen, hingga Pure Saturday. Scene indie ini menawarkan beragam macam genre, mulai dari power pop sampai ke metal yang thrash/death sekalipun. Pure Saturday adalah salah satu band indie yang paling kedengaran gaungnya. Band ini memiliki popularitas yang luar biasa di kota asalnya, Bandung. Merilis album self titled "Pure Saturday", nomor-nomor klasik seperti "Kosong" dan "Coklat" mengantarkan mereka sebagai legenda band indie yang terlupakan.

Dipenghujung dekade 90an, Indonesia kembali diberkati dengan band-band million copies berkualitas. Di tahun 1999, Padi dan Sheila on 7 menjajaki popularitas mendadak dengan album yang terjual 1 juta kopi lebih. Dari segi kualitas mereka tak kalah, Padi hadir dengan single "Sudahlah" yang terdengar cukup tidak common kala itu tapi menjadi hit radio populer yang menjadi magnet utama debut mereka selain "Begitu Indah" ataupun "Mahadewi". Padi terdengar seperti U2 dengan vokalis mirip Eddie Vedder (Pearl Jam). Bersama Padi, Sheila on 7 menjelma menjadi prototype dari gabungan Slank dan Dewa 19, menjadikan mereka benchmark jutaan anak muda Indonesia untuk berlomba-lomba menciptakan band dengan lagu simple, yang penting hits, populer, dan laku.

Sungguh tidak lengkap dokumentasi dekade ini kalo kita tidak membicarakan band lawak yang serius bernama Naif. Pria-pria kurang kerjaan dari IKJ ini tiba-tiba muncul ke permukaan dengan gaya mereka yang berani nekat melawan arus industri. Fashion 70an, celana cutbray, hingga kacamata jadul, dan bernyanyi tentang pamer mobil balap baru yang kemuditan ditilang polisi, adalah image 'absurd' (sebagian memang berpikiran seperti ini waktu itu) yang mereka tawarkan ke industri musik sebagai alternatif. Namun siapa sangka lambat laun gerakan alternatif Naif adalah movement yang inspirasional bagi band-band yang mengikuti jejak Naif sebagai alternatif industri yang tidak bisa dipandang sebelah mata. White Shoes & the Couples Company, The Brandals, The Upstairs, adalah sedikit dari banyak nama yang mempraktikkan langsung pergerakan 'indie' tanpa basa-basi turunan Naif. Apresiasi untuk Naif ditandai dengan album tribute to Naif yang dirilis di tahun 00an. Goodnight Electric, Tika, Brandals, the Adams, adalah rooster yang meramaikan salah satu album tribute terbaik yang pernah ada di Indonesia ini.
Naif


Decade 00s
Millenium baru ditandai dengan pergerakan indie yang makin menjamur seiring dengan popularitas mereka yang mulai menyaingi nama-nama besar di musik mainstream. Di area mainstream, begitu banyak band-band baru yang bermunculan. Dan begitu banyak pula di antara band-band baru tersebut berlalu begitu saja. Kualitas musik populer kembali terjangkit penyakit melayu akut, bahkan banyak band-band populer yang berkualitas di dekade-dekade sebelumnya mengalami penurunan kualitas musik yang memalukan dengan ikut-ikutan arus industri.

Pelaku-pelaku lama yang paling berpengaruh di dekade ini salah satunya adalah Dewa (Dewa 19 tanpa embel-embel 19). Mengganti vokalis yang mana adalah nyawa dari ciri musik suatu band, adalah perkara yang tidak gampang. Apalagi kalau vokalis band tersebut adalah penyanyi sekaliber Ari Lasso yang begitu mempunyai signature yang khas sebagai seorang vokalis. Tapi ”Bintang Lima” membuktikan bahwa Dewa bukan band kelas dua. Once menggantikan peran Ari Lasso dengan karakter yang jauh berbeda denganya, dan uniknya sama kuat. ”Bintang Lima” adalah album pop-rock dengan sentuhan lirik-lirik romantisme dengan pendekatan yang paling dicoba untuk ditiru oleh band-band dengan berlirik cinta seadanya seperti kebanyakan band-band melayu sekarang. Aransemen album ini sangat cutting edge, hingga orkestrasi, dan sound-nya sangat detail. Dirilis tepat tahun 2000, ”Bintang Lima” adalah salah album terbaik Indonesia dalam menyambut era milenium. Laris manis hampir mencapai angka penjualan 2 juta kopi.

Padi, Sheila on 7, dan juga Jamrud merilis beberapa rentetan album penting di awal tahun. Padi merilis ”Sesuatu yang Tertunda”-yang diklaim merupakan album terbaik Padi secara kualitas. Sheila on 7 makin meroket secara popularitas dengan album ”Kisah Klasik Untuk Masa Depan”, dan Jamrud merayakan ”Ningrat” yang mencetak sejarah sebagai album rock paling laku dengan angka menembus 1 juta kopi lebih.

Fenomena lain adalah band asal Bandung yang bernama Peterpan. Walau konsistensi akan kualitas band ini selalu menjadi bahan perdebatan, Peterpan tetap adalah band yang kelak akan paling diingat selama dekade ini. Suka tidak suka anda seakan tak akan bisa lepas dari teror lagu-lagu mereka yang diputar dalam intensitas yang berlebih di setiap TV, radio, dan bahkan dimana-mana. Angka fenomenal 3 juta kopi untuk ”Bintang di Surga” saya yakin bukan angka yang bisa didapat dengan mudah oleh propaganda promosi belaka, melainkan adalah suatu bukti bahwa Peterpan bagaimanapun juga, adalah band yang layak untuk diperhitungkan. Disamping mereka, rooster Musica Studios menyimpan pasukan-pasukan lain seperti Nidji yang britpop-oriented, Letto dengan filosofi-pop mereka, hingga Project Pop yang jenaka.

Di dekade ini, scene indie membuktikkan bahwa scene ini memang bukan scene marginal yang cadangan secara popularitas. Dari tahun ke tahun, pergerakan indie menyebar epidemik bagai virus yang semakin menjangkit massa yang semakin luas dan beragam. Mereka memang mempunyai fanbase yang kecil dibandingkan band-band mainstream yang populer, tapi keunikan scene indie ini adalah mereka memiliki fanbase yang loyal, ada dari waktu ke waktu, dan pertumbuhan yang mulai menunjukkan kuantitas yang signifikan dalam jumlah komunitas hingga populasi. Hal ini common terjadi mungkin sebagai dampak dari apresiasi sebagai masyarakat kepada kualitas akan musik dan lirik yang benar-benar diprioritas-utamakan oleh kebanyakan band-band indie saat itu hingga sekarang.

Adalah The Adams, The Brandals, The Upstairs, Mocca, White Shoes and the Couples Company, hingga Seringai, nama-nama yang paling terdengar dalam memulai pergerakan ‘bawah-tanah’ kloter ke-dua ini. Popularitas band-band ’kelas dua’ seperti mereka mulai bersaing dengan nama-nama besar di alur mainstream. Masing-masing band indie di atas cendrung memiliki influence musik yang bagus dan beragam, lalu berhasil meramu elemen-elemen tersebut dengan identitas Indonesia, sehingga terdengar lebih fresh dan tidak mono. The Adams dengan power-pop leburan The Beatles dengan Beach Boys, The Brandals yang membunyikan kembali garage rock lama dengan sound yang vintage lewat suara desah nafas kehidupan urban Jakarta, The Upstairs yang post-punk dengan berakarkan pada synthpop/new-wave, Mocca yang indie-pop beraroma swing, bossanova, hingga jazz, White Shoes and The Couples Company yang kembali ke 70an dengan retro-pop khas Indonesia asli, hingga metal/rock barbarian perkawinan Motorhead dan Black Sabbatth ala Seringai, dan masih sangat banyak lagi band-band indie lain yang tak kalah hebat dengan identitas mereka yang unik satu sama lain secara image, fashion, dan musikalitas. Menjadikan fenomena scene indie ini sebagai hal yang relevan dan wajar terjadii, ketika masyarakat Indonesia mulai mencapai titik jenuh yang dikarenakan oleh supply akan musik populer mainstream makin lama makin mulai semakin seragam, monoton, dan itu-itu saja.

White Shoes and The Couples Company

White Shoes and The Couples Company pada akhir 2008 kemarin berangkat tour ke US dan diundang dalam suatu konferensi musik di daerah sana. The S.I.G.I.T sempat melakukan tour gerilya di Australia, dan menjadi opening act untuk Dallas Crane (band rock populer di Australia). Mereka juga diundang oleh SXSW Festival 2009 (festival musik di Austin, US), dan melakukan tour di beberapa tempat di US. Burgerkill awal 2009 melakukan satu bulan tour full lewat Australia Invasion di Australia, dan melakukan showcase di beberapa negara di Asia Tenggara. Mocca sering diundang bermain di Singapore, Malaysia, dan bulan kemaren baru saja datang dari Korea. Goodnight Electric sempat merasakan festival electronic/dance di Eropa. The Upstairs, dan Maliq and D’essensial sempat berkunjung ke Malaysia. Ini semua adalah sedikit contoh sekaligus bukti betapa musik anak negeri begitu diperhitungkan dalam kancah internasional.
The S.I.G.I.T


Sebagian orang menilai masyarakat pendengar musik Indonesia makin tidak karuan secara kualitas selera musik dengan kehadiran band-band melayu seperti Kangen Band, D’massiv, Wali, dan kawan-kawannya. Saya tidak bilang mereka tidak bagus untuk menjadi band cinta yang mendayu-dayu, tapi sepertinya masih banyak band-band yang jauh lebih inovatif dari mereka dari hal lirik yang disampaikan hingga musikalitas yang ditawarkan. Dan merekalah yang sekiranya hendaknya dijadikan representasi akan bagaimana kualitas musik Indonesia. Sekali lagi, ini menurut opini dan selera saya.

Now
Dan sekarang adalah tahun 2009, tak terasa dekade ini berlalu dengan cepat dan kita sudah berada hampir diujung periode. Makin kesini, makin banyak bermunculan pendatang baru, dan makin tidak jelas standar yang ada. Tapi yang pasti, segenap nama-nama yang saya sebut di atas adalah alasan-alasan yang dapat kita banggakan akan industri musik Indonesia. Dan pastinya, masih banyak nama-nama hebat lain yang mungkin tidak saya bahas lebih dalam, atau memang tak tersebut sama sekali mengingat keterbatasan pengetahuan saya tentang musik Indonesia.


Short Conclusion
Inggris boleh berbangga mereka punya The Beatles, Led Zeppelin, Rolling Stones, hingga Oasis, Blur, Arctic Monkeys, dll. Amerika Serikat boleh sombong dengan Bob Dylan, Elvis Presley, hingga Nirvana, Pearl Jam, White Stripes, Strokes, Killers, dll. Tapi jangan lupa, kita, Indonesia, punya :
Koes Plus, God Bless, Iwan Fals, Chrisye, Fariz RM, Yockie Suryoprayogo, Guruh Gipsy, Harry Roesli, Jack Lesmana, Yopie Item, The Rollies, Shark Step, Giant Move, Ebiet G. Ade, Rhoma Irama, Superkid, hingga Slank, Roxx, Dewa19, Gigi, KLA Project, Naif, Edane, Padi, Sheila on 7, PAS BAND, Boomerang, Pure Saturday, White Shoes and The Couples Company, Efek Rumah Kaca, Mocca, The Brandals, The Upstairs, The S.I.G.I.T, Goodnight Electric, Koil, Seringai, Puppen, Siksakubur, Dead Squad, Tengkorak, Zeke and the Popo, Nidji, dan masih banyak lagi list yang mungkin saya lupa dan yang akan muncul kedepannya nanti, yang patut kita banggakan bersama, atau paling tidak bagi saya pribadi.

Yang pasti, kita pun dapat bangga bahwa musik dalam negeri kita menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, Indonesia.....






The Sandro Rayhansyah Article
June 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar