Sabtu, 22 Agustus 2009

The Sandro Rayhansyah Review : Greenday - 21st Century Breakdown

Artist : Green Day
Album : 21st Century Breakdown
Year : 2009
Score : 8,5 of 10







Kembalinya pahlawan punk kebanggaan (sekaligus paling dibenci?) Amerika yang telah berada pada jalan dan alur yang benar, melanjutkannya perjalanannya, sekaligus semakin mematangkan identitas. Billie Joe Armstrong (Vokalis, Gitaris) dkk bukanlah lagi bocah-bocah berandalan punk paruh baya yang hanya bisa menyanyikan basketcase tanpa punya masa depan yang jelas. Pasca "American Idiot", Greenday menjelma menjadi semakin berontak, pembangkang, sekaligus propagandist paling berbahaya Amerika di era paling ironis Amerika, dimana Amerika mundur 40 tahun kebelakang ketika kita bicara tentang intelektualitas dan kemanusiaan yang diprakarsai oleh tokoh antagonis utama pada drama opera musikal "American Idiot" 5 tahun lalu, yang bernama George W. Bush.

Jika "American Idiot" berbicara tentang segala protes dan perlawanan terhadap betapa kelam dan kejamnya rezim Bush kala itu, "21st Century Breakdown" adalah sekuel sempurna rock-opera Greenday yang melihat sisi lain dalam segala bentuk keoptimisan era baru Amerika versi Obama dalam harapan, mimpi, chaos, kecewa, dan kepasrahan sisa-sisa rongsokan pasca-era Bush. Opera ini menceritakan tentang pasangan kekasih Christian dan Gloria yang hidup pada zaman merangkai kepingan-kepingan american dreams dan harapan yang hancur berkeping-keping sepeninggalan "American Idiot". Terbagi layaknya dalam 3 chapter, "Heroes and Cons", ""Charlatan and Saints", dan "Horseshoes And Handgrenades’", album ini adalah mutlak dokumentasi kemunduran abad 21 Amerika (secara spesifik) yang terdeskripsi jelas pada tembang "21st Century Brekadown", tersurat sekaligus tersirat pada skenario-skenario berdarah dan perang pada "Last Night on Earth" hingga "Peacemaker", dan terangkum baik dalam histeria massal akan kekecewaan seperti pada kemunafikan keseragaman di "East Jesus Nowhere", kemandekan serikat ini di "the Static Age" dan "American Eulogy", hingga secercah ke-optimis-an pada lagu penutup "See the Light".

Secara musikal, Greenday mengalami fase penyempurnaan musikalitas mereka yang merupakan hasil hybrid punk-rock khas mereka dengan elemen-elemen classic rock hasil experimen di "American Idiot", plus hook dan rismis yang terpengaruh banyak genre. Mulai dari standard punk alternative yang organik pada "21st Century Breakdown" dengan lirik yang lennon-isme (My Generation is Zero/I Never Made It As Working Class Hero). Deklarasi anti perang pada "Know Your Enemy" yang mengingatkan pada rumus punk mereka dengan sound tebal plus ritme ala "American Idiot", "Before the Lobotomy" yang mencuri hook chorus ala Weezer, ballada "Last Night on Earth" yang menghanyutkan, hingga nuansa latin rock dengan bass Mike Dirnt yang sangat groovy pada "Peacemaker". Bahkan Greenday sempat bertransformasi menjadi the Hives membawakan "Horseshoes And Handgrenades" yang meledak-ledak bagai bom dalam garasi dengan riff kasar ala "Main Offender".

Greenday sukses berat dalam kembali menghadirkan opera-rock sekuel yang secara kualitas melebihi pendahulunya, "American Idiot". "21st Century Breakdown" adalah masterpiece buah pemikiran mantan bocah punk yang berbicara lantang tentang isu nasionalisme amerika dalam pendekatan yang realistis. Membuktikan bahwa untuk mencintai negara mereka dan menjadi seorang nasionalis tidak harus membuat lagu dengan judul "I Would Die For America Only" ataupun "America is Superior Peaceful Country, If You Know My friend" (Haha). Bernyanyi tentang kejanggalan dan kebodohan negara sendiri bukankah suatu tanda nasionalisme juga?. Saya yakin dan percaya misi Greenday menghipnotis berjuta-juta penduduk dunia untuk bersorak "F*Ck America, American Idiot" bukanlah tindakan bodoh tanpa pemikiran jangka panjang. Dan hal ini masih berlaku dan relevan bagi kelanjutan cerita seputar teman-teman (idiot) kita di America melalui "21st Century Breakdown".

Tak banyak band yang berani bereksperimen dengan format album rock opera, karena album tipikal seperti ini menuntut sesuatu fondasi yang harus konseptual untuk membikin rock opera yang terdengar tidak kacangan, ataupun tidak hanya sekedar men-dongeng dan bercerita. The Who "Tommy ataupun Pink floyd "The Wall" adalah contoh album rock opera esensial sepanjang masa. Saya rasa dalam beberapa tahun ke depan adalah hal yang wajar untuk menyajarkan "21st Century Breakdown" dengan album-album classic di atas. Yes it is, Its Almost Classic!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar